25 April 2009

Ada Pelajaran TI

Sekarang di sekolah mulai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) sampai jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) ada pelajaran TI (Teknologi Informasi). Kalangan pendidik di sekolah menafsirkan pelajaran TI itu adalah pelajaran yang berhubungan dengan komputer dan dalam proses pembelajarannya para siswa diharapkan dapat mengoperasikan komputer. Materi pelajaran yang diberikan pada umumnya di sekolah adalah cara mengoperasikan program Word, Excell, Power Point, Access, sampai tata cara berinternet.

Karena dalam pelajaran TI ini para siswa diharapkan dapat mengoperasikan komputer, sehingga pelajaran ini tergolong terapan, maka kepada para siswa idealnya dalam proses pembelajaran lebih banyak melakukan pelatihan. Agar pelatihan dapat berjalan dengan baik, maka setiap sekolah sebaiknya memiliki komputer sekurang-kurangnya sebanyak setengah dari jumlah siswa dalam satu rombongan belajar terbanyak di sekolah. Hal ini dilakukan agar paling tidak setiap satu komputer dipergunakan oleh dua orang siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Pemerintah kabupaten/kota yang dalam setiap kampanyenya menunjukan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keterlaksanaan pendidikan tentu dalam setiap membuat kebijakan tidak hanya terfokus pada kegiatan tatap muka kegiatan pembelajaran. Tetapi perlu memperhatikan pengadaan dan pemeliharaan sarana yang dapat membantu pembelajaran TI. Selain itu, guru TI di sekolah pada umumnya hanya mereka yang bisa mengoperasikan komputer dan bukan mereka yang berlatar belakang pendidikan komputer, sehingga para guru TI pun perlu mendapatkan diklat pembelajaran komputer.

24 April 2009

BOS

Bupati Kotabaru termasuk salah satu pemimpin daerah yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap pendidikan warganya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya yang mendorong dan melaksanakan pendirian sekolah menengah pada setiap kecamatan. Selain itu kebijakan bupati yang membebaskan warganya dari yuran sekolah dan pembayaran lainnya sampai tingkat sekolah menengah. Sebagai pengganti dari kebijakan sekolah gratis tersebut, maka pada jenjang sekolah menengah pihak pemerintah kabupaten memberikan pengganti untuk biaya operasional sekolah (BOS) sebesar tujuh puluh ribu rupiah per siswa per bulan.

Sepintas, kebijakan BOS dari pemerintah kabupaten sangat menguntungkan bagi pengelola sekolah. Sebab yuran sekolah yang harus dibayar oleh siswa pada banyak sekolah tidak sebesar biaya pengganti yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Tetapi, apabila lebih diperhatikan dengan saksama, maka akan terlihat banyak sekolah yang mengalami kesulitan beroperasi karena sangat sedikitnya jumlah siswa yang belajar di sekolah. Hal ini terkait dengan ketersediaan tenaga guru, kondisi geografis, sebaran penduduk dan kebijakan pemerintah kabupaten yang mendirikan sekolah menengah di setiap kecamatan.

Agar kesulitan yang dihadapi oleh sekolah (terutama yang jumlah siswanya sedikit) dalam mengelola biaya pengganti BOS, maka pemerintah perlu juga memperhatikan segala faktor yang terkait dengan keterlaksanaan pembelajaran di sekolah. Faktor dimaksud antara lain adalah ketersediaan isi perpustakaan sekolah, peralatan praktikum di laboratorium, pemeliharaan peralatan belajar, dan penjaga sekolah. Juga perlu disiapkan tenpat tinggal guru yang bertugas di kecamatan karena pada umumnya mereka bukanlah penduduk yang berasal dari sekitar lokasi sekolah.

09 April 2009

Tidak Menghargai Prestasi

Dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya tidak mendorong berkembangnya sikap sportif di kalangan siswa. Sikap para pendidik pada umumnya lebih toleran kepada pihak yang tidak mementingkan prestasi. Akibatnya sangatlah sulit mengembangkan persaingan yang sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya dapat dilihat dari pelaksanaan Pemilu saat ini yang memunculkan bukti-bukti adanya indikasi kecurangan dalam penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) serta adanya himbauan agar parpol dan atau caleg siap menerima kekalahan.

Sebelum tahun 2000, saya di suatu sekolah membuat kebijakan dengan tujuan menumbuhkembangkan sikap sportif di kalangan siswa serta memunculkan dorongan dari dalam diri siswa untuk lebih rajin belajar. Caranya adalah dengan menjadikan peringkat hasil belajar siswa sebagai acuan penentuan tempat atau ruang belajar mereka. Ketika itu masa belajar selama satu tahun pelajaran terbagi dalam tiga caturwulan, sehingga dimungkinkan seorang siswa dalam satu tahun pelajaran akan merasakan belajar ditiga ruang belajar atau mengalami dua kali berpindah ruang belajar. Ketika itu di kalangan rekan-rekan pendidik dan atau mereka yang punya perhatian lebih terhadap perkembangan pendidikan muncul pernyataan dalam bentuk pertanyaan “Bagaimana dengan siswa yang berada diperingkat bawah?” Kemungkinan, kata mereka yang tidak setuju dengan cara yang saya lakukan waktu itu, mereka yang berada di peringkat bawah akan kecewa dan semakin malas belajar. Mereka juga mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan saat itu adalah tidak membenarkan penulisan peringkat di rapor siswa.

Awalnya tanggapan saya adalah dengan memberikan contoh yang berhubungan dengan kompetisi di bidang seni dan olahraga. Adakah, kata saya, di antara peserta kompetisi yang kalah beberapa bulan lalu tidak mau ikut lagi kompetisi yang sama pada bulan berikutnya? Jawaban mereka tidak ada. Tetapi sikap menolak ide sistem peringkat itu semakin keras, sehingga saya minta kepada para penolak agar menghitung persentase siswa prustrasi akibat peringkatnya berada di bawah. Karena tidak ada yang bisa memberi jawaban yang tegas, maka saya kemukakan bahwa, andaikan ada sepuluh persen siswa prustrasi sebagai akibat berlakukan sistem peringkat, maka sistem ini harus terus dilaksanakan dan kita tidak boleh mengalahkan 90% siswa yang senang dengan sistem ini.

Mengenai kebijakan yang tidak setuju dengan penulisan peringkat di rapor merupakan salah satu penyebab berkembangnya sikap di kalangan siswa berupa “asal naik atau asal lulus” dan di masyarakat berkembang sikap tidak siap menerima kekalahan, serta yang lebih parah adalah sangat jarangnya ditemukan prestasi yang memberi manfaat bagi bangsa. Dunia pendidikan kita selama ini memang cenderung tidak menghargai prestasi, tetapi cenderung menghargai pihak-pihak yang menonjolkan kelemahan. (Maaf, saya bersiap ke TPS karena jadi anggota panitia, nanti disambung lagi)

08 April 2009

Pembekalan Guru Baru

Bulan April 2009, pada umumnya pemerintah kota/kabupaten di Kalimantan Selatan membagikan SK pengangkatan Calon PNS bagi guru. Bulan April berarti masa belajar di sekolah sudah mencapai lebih dari setengah semester. Bulan April berarti termasuk pada semester genap yang mendekati ulangan kenaikan kelas bagi para siswa. Kondisi seperti ini berarti kita haruslah dapat memaklumi apabila banyak kepala sekolah tidak memberikan tugas mengajar kepada guru yang baru diangkat pemerintah. Kalau pun guru baru diberikan tugas mengajar oleh sekolah, itu pada umumnya disebabkan karena guru tetap di sekolah itu terlalu banyak mendapat tugas mengajar. Yang jelas, sebaiknya memang, guru baru tidak langsung diberi tugas mengajar, tetapi kepada mereka perlu menyiapkan diri menjadi guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam rentang waktu sekitar tiga bulan, para guru yang baru diangkat sebagai CPNS, oleh pihak dinas pendidikan perlu diberi pembekalan. Kemampuan utama yang hendaknya diberikan kepada mereka terutama berupa kemampuan membuat silabus, kemampuan membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), dan kemampuan menetapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Ketika membuat silabus, para guru baru sebaiknya dibiasakan merancang sendiri silabus tanpa membaca buku yang menjadi bahan bacaan siswa. Mereka sebaiknya diminta mengkaji kompetensi dasar dari mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing. Kemudian mereka diminta menjabarkannya ke dalam komponen silabus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Membuat silabus berdasarkan kemampuan diri sendiri, tanpa melihat contoh silabus milik orang lain yang sudah jadi serta menjadikan ilmu yang dimiliki untuk menjabarkan kompetensi dasar tanpa membaca buku yang menjadi bahan bacaan siswa, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri bagi para guru baru. Dengan adanya rasa percaya diri diharapkan kreativitas mereka akan bisa lebih dipacu dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah masing-masing.

07 April 2009

Kelas Gabung

Permasalahan di sekolah yang umum diketahui dan dibicarakan orang antara lain adalah kekurangan guru dan kekurangan siswa. Bagi sekolah negeri, masalah kekurangan guru yang sangat parah ada pada jenjang sekolah dasar yang lokasi sekolahnya di desa terpencil. Sedangkan sekolah menengah dengan status swasta masalah yang dihadapi adalah kekurangan siswa. Kedua masalah pada jenjang pendidikan yang berbeda ini dikemukakan karena solusi yang dilakukan pihak sekolah hampir sama, yaitu siswa pada tingkat yang berbeda digabung dalam satu ruang belajar untuk menerima pelajaran dari seorang guru. Kreativitas para guru di sekolah seperti ini harusnya memperoleh nilai positif dari pemerintah daerah.

Di sekolah dasar misalnya, karena gurunya ada dua orang, maka siswa kelas 1, 2, dan 3 digabung dalam satu ruang belajar untuk menerima pelajaran dari seorang guru. Begitu juga dengan siswa yang berasal dari kelas 4, 5, dan 6 akan menerima pelajaran dari seorang guru lainnya. Sewaktu menyampaikan materi pelajaran, guru membagi papan tulis menjadi tiga bagian, kemudian menuliskan materi pelajaran pada setiap bagian papan tulis untuk kelas yang berbeda. Cara ini dapat dilakukan karena jumlah siswanya sedikit. Jika jumlah siswa banyak, maka cara yang dilakukan guru adalah dengan menjadwalkan waktu belajar yang berbeda pada siswa yang berbeda kelas.

Di sekolah menengah ternyata ada juga cara belajar yang menggabungkan siswa tingkat kelas yang berbeda dalam satu ruang belajar oleh seorang guru. Cara ini dilakukan oleh pihak sekolah agar pengeluaran sekolah untuk insentif guru bisa lebih sedikit. Biaya operasional sekolah swasta sangat tergantung pada uang sekolah yang dibayarkan oleh siswanya. Parahnya lagi, sekolah swasta yang kekurangan siswa tidak mampu menetapkan uang sekolah kepada siswanya dalam jumlah yang besar.

Siswa yang berbeda tingkat kelas tetapi belajar dalam satu ruangan tentu proses pembelajarannya tidak menggunakan metode ceramah. Metode yang biasa digunakan adalah pemberian tugas. Keuntungan lain yang bisa diperoleh ternyata kadang-kadang terjadi saling bantu dalam memahami materi pelajaran antar siswa yang berbeda tingkat itu.

06 April 2009

Jaminan Mutu

Sekolah sekarang ini sering memasarkan diri dengan berbagai sebutan mentereng. Ada sekolah yang menyebut diri SBI atau sekolah Berstandar Internasional. Ada sekolah yang menyebut diri SSN atau Sekolah Standar Nasional. Namun ternyata isinya yang berbeda dengan sekolah tanpa standar lebih banyak pada penambahan jumlah jam belajar dan penambahan jumlah pembayaran belajar. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah berstandar lebih banyak berasal dari keluarga menengah ke atas. Tetapi ketika ditanyakan kepada pengelola sekolah berstandar, kemampuan apa yang bisa dimiliki siswa setelah belajar selama tiga tahun? Jawabannya akan sama dengan yang dikemukakan oleh sekolah yang tidak berstandar ketika pertanyaan yang sama dikemukakan kepada mereka.

Jaminan mutu yang saya maksudkan, misalnya, seseorang yang ingin memiliki kemampuan menyetir mobil, maka orang tersebut akan belajar di tempat yang mengajarkan tentang menyetir. Orang yang ingin memiliki kemampuan membuat kue amparan tatak, maka ia akan belajar di tempat yang mengajarkan tentang cara membuat amparan tatak. Bagaimana dengan sekolah? Belajar bahasa Inggris selama tiga tahun tetapi pada umumnya para siswanya tidak pandai berbahasa Inggris. Lihat di lembaga bimbingan (kursus) bahasa Inggris, kalau seseorang sudah belajar selama tiga tahun, maka hasilnya sangat lebih baik dibanding hasil belajar bahasa Inggris di sekolah. Andaikan sekolah bisa memberi jaminan bahwa siswa yang belajar di sekolahnya akan bisa berbahasa Inggris menurut ukuran TOEFL adalah 450. Dalam pelajaran agama Islam misalnya, siswa lulusan sekolah tersebut pasti hafal sekian surat.

Setiap guru yang profesional harusnya bisa menetapkan standar kemampuan yang akan dimiliki siswa setelah belajar dengan dia selama sekian jam atau sekian semester aqtau sekian tahun. Apabila semua guru di suatu sekolah sudah menetapkan jaminan mutu tersebut, maka sekolah dapat menetapkan jaminan mutu dari sekolah tersebut. Sekolah yang seperti ini di masa yang akan datang akan menjadi sekolah yang diminati.

05 April 2009

Manfaat Ulangan Bersama

Pelaksanaan UN (Ujian Nasional) menunjukkan bahwa setiap diperlukan alat uji dengan standar yang sama untuk mengukur penggunaan (bahan ajar) yang sama. Bahkan kalau memperhatikan pedoman UN yang berisi standar kelulusan, maka dapat dianggap standar nasional itu dipatok paling rendah, karena setiap sekolah boleh menetapkan sendiri standar kelulusan siswanya asalkan tidak kurang dari standar yang berlaku secara nasional. Tetapi bagi para pejabat yang bertanggung jawab dengan pendidikan di daerah, para kepala sekolah dan para guru, standar yang berlaku secara nasional itu dianggap sangat tinggi, sehingga terjadilah perencanaan dan pelaksanaan tindakan menyimpang guna membantu peserta ujian.

Munculnya keraguan terhadap keberhasilan peserta Ujian Nasional, selain karena rasa kurang percaya dirinya banyak guru, kepala sekolah, dan pejabat penanggung jawab pendidikan di daerah, juga disebabkan para siswa sejak kelas satu terbiasa mengerjakan soal buatan gurunya sendiri. Padahal soal buatan guru sendiri hanya berdasarkan standar yang berlaku di sekolahnya saja, bahkan kadang-kadang ada soal ulangan semester yang dibuat guru seminggu sebelum pelaksanaan ulangan. Ketika disodorkan keinginan untuk melaksanakan ulangan bersama, muncullah keangkuhan para guru dan kepala sekolah yang bertugas di sekolah hebat, yang katanya standar sekolah kami tidak boleh disamakan dengan sekolah pinggiran. Padahal guru dan kepala sekolah di sekolah hebat itu pula yang sering ragu terhadap kemampuan siswanya dalam mengikuti ujian nasional.

Ulangan bersama, selain bermanfaat untuk membiasakan siswa mengerjakan soal bukan buatan gurunya, juga dapat dijadikan alat ukur atau alat introspeksi bagi guru untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuannya untuk memahami, menjabarkan, dan mengajarkan materi KD (Kompetensi Dasar) yang sesuai dengan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yang berlaku secara nasional. Guru yang setelah melakukan introspeksi, kemudian berusaha memperbaiki diri dengan cara belajar kembali materi ajar yang belum dikuasainya akan berdampak positif terhadap hasil belajar siswanya.

Manfaat yang juga bisa diperoleh pihak penanggung jawab pendidikan di daerah (seperti Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota) adalah munculnya peta kemampuan sekolah dan kemampuan guru di daerah sehingga dalam memanggil peserta diklat guru akan lebih baik dari keadaan yang berlaku selama ini. Disdik atau Depag juga akan memiliki dasar yang kuat dalam memberikan penghargaan dan sebagainya kepada kepala sekolah dan guru di daerah yang menjadi tanggung jawabnya.

04 April 2009

Mutu Pendidikan?

Pada tulisan sebelumnya (KD-nya Sama) telah dikemukakan bahwa kemampuan guru yang rendah dan perilaku guru untuk mencari mudahnya dalam melakukan penjabaran terhadap KD (Kompetensi Dasar) merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan sekarang ini. Bagi sebagian besar guru, materi yang ada dalam buku pelajaran yang jadi pegangan siswa tidak perlu dimodifikasi. Sebab buku tersebut menurut para guru dimaksud ditulis orang-orang pintar. Hal ini menunjukkan bahwa para guru merasa rendah diri, padahal tingkat pendidikan para guru dan penulis buku sama.

Pihak yang bertanggung jawab terhadap keberadaan sekolah (termasuk di dalamnya guru) hendaknya membuat kebijakan yang bisa mendorong guru untuk berkreasi atau belajar kembali sehingga bermanfaat bagi peningkatan mutu hasil belajar para siswanya. Salah satu kebijakan dimaksud adalah pelaksanaan ulangan semester bersama dengan menggunakan alat uji yang sama. Penggunaan alat uji yang sama pada hakikatnya merupakan suatu kewajaran, sebab bahan dasar kegiatan pembelajaran (KD) yang digunakan sama untuk jenjang pendidikan yang sama. Dari hasil ulangan semester bersama akan dapat diketahui kemampuan para gurunya dan diharapkan menyadarkan guru akan kemampuan yang dimilikinya.

Dalam jangka waktu tertentu diharapkan pihak pembuat kebijakan melakukan evaluasi terhadap kemampuan para guru. Bagi guru yang memiliki kemampuan baik (tentunya dilihak dari grafik hasil belajar siswanya) harusnya diberikan penghargaan dengan memutasikannya ke sekolah yang lebih baik. Sebaliknya bagi guru yang kemampuannya kurang baik harusnya dimutasi ke sekolah yang kurang baik pula.

02 April 2009

KD-nya Sama

Sekolah sekarang, pada umumnya, dengan alasan otonomi sekolah sehingga merasa berhak untuk menentukan sendiri ukuran keberhasilan pendidikan para siswanya. Sedangkan bagi masyarakat, terutama bagi pihak yang mengaku peduli pendidikan, ukuran keberhasilan pendidikan di suatu sekolah selalu dilihat dari hasil ujian akhir para siswanya. Pendapat masyarakat tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat yang dianut oleh para pendidik, karena keberhasilan pendidikan itu menurut para pendidik tidak hanya diukur dari hasil ujian akhirnya saja. Harapan yang muncul dari hasil proses pendidikan adalah adanya kemampuan para siswa untuk dapat hidup lebih baik di lingkungan masyarakatnya.

Kemampuan para guru untuk membuat kurikulum sendiri sangatlah rendah. Bahkan untuk menjabarkan materi kurikulum yang diberikan oleh pihak Depdiknas pun, masih banyak guru yang dapat dianggap belum mampu. Buktinya? Lihatlah apa yang dilakukan oleh guru ketika mempersiapkan diri untuk mengajar. Bahannya diambil dari buku pelajaran yang beredar di pasaran dan jadi pegangan siswanya. Untuk membuat indikator saja para guru memakai indikator yang sudah dibuatkan penulis buku atau membaca materi buku pelajaran tersebut. Padahal harapan pembuat kurikulum adalah agar guru menjabarkan KD (kompetensi dasar) yang ada dalam kurikulum dengan menggunakan ilmu yang diperolehnya sehingga dia diangkat menjadi guru.

Kurikulum yang berlaku di banyak sekolah sekarang biasa disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pembuatan KTSP (diharapkan) oleh guru berpedoman pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Setiap mata pelajaran sudah dibuatkan KD (kompetensi dasar)-nya. Tugas guru antara lain adalah menjabarkan KD tersebut ke dalam beberapa indikator. Karena KD ditetapkan oleh Depdiknas, berarti semua sekolah pada jenjang yang sama berpedoman pada KD yang sama pula.