28 Desember 2009

Sertifikasi Pengawas

Sabtu, 26 Desember 2009 yang lalu teman-teman pengawas dari Kabupaten Batola sibuk mengadakan workshop secara mandiri di rumah salah seorang anggotanya yang berseberangan jalan dengan rumah kami. Setelah meletakkan tas dan membuka sepatu, saya menyeberang jalan untuk melihat dan mendengar apa yang didiskusikan. Ternyata ada surat dari Kepala Dinas Pendidikan Batola yang menindaklanjuti surat dari Dirjen PMPTK Depdiknas perihal kelengkapan berkas penerima tunjangan sertifikasi.
Senin, 28 Desember 2009 saya bicarakan dengan beberapa teman pengawas di Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin. Alhamdulillah semuanya tidak ada yang memperoleh informasi tentang perihal yang sama untuk kepentingan pengawas. Ada di antara kawan yang menanyakan masalah ini ke Kabid PTK Disdik Kota Bjm dan ada pula yang menelusuri sambil berjejalan dengan para guru untuk melihat semua pengumuman yang terpampang di dinding. Hasilnya, semuanya menyatakan tidak ada. Karenanya saya telpon Pa Abdul Rivai, alhamdulillah beliau dengan senang hati memfotocopikan surat dimaksud dan mengantarkannya ke kantor kami.
Isi surat hasil fotocopi tersebut kemudian kami diskusikan. Karena poin pertama persyaratan yang harus dikumpulkan itu adalah fotocopi sertifikat yang menyatakan lulus sertifikasi, kami sepakat untuk bertanya ke FKIP Unlam. Kami berempat menemui Prof. Wahyu dan beliau kemudian menelpon Pa Iriani Bakti (Ketua Jurusan MIPA) yang bertanggungjawab mengelola sertifikasi. Informasi Pa Iriani bahwa hasil penilaian usul sertifikasi belum bisa diumumkan karena belum dapat ijin dari KSG (Konsorsium Sertifikasi Guru) Pusat.
Informasi Pa Iriani tersebut setelah kami diskusikan bersama teman-teman pengawas lainnya di kantor Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, disimpulkan bahwa kami hanya berusaha mempersiapkan berkas yang diperlukan seperti surat pernyataan melaksanakan tugas dan SK Pembagian Tugas Pengawas. Berkas ini hanya kami simpan di lemari arsip.
Saat kami diskusi, saya sempat menelpon ketua Asosiasi Pengawas (APSI) Kalsel di Rantau. Kami minta informasi tentang tugas kepengawasan. Menurut beliau apabila pengawas membina sebanyak 10 sekolah maka tugasnya berupa supervisi manajerial, sedangkan apabila kurang dari 10 sekolah pengawas dapat melaksanakan supervisi akademik kepada sebanyak 40 – 60 orang guru.
Informasi lainnya bahwa Pa Hamdan yang baru pulang dari Bandung mengikuti Diklat Kepengawasan mendapat kesimpulan bahwa PMPTK menginginkan agar tugas kepengawasan lebih dititik beratkan pada pembinaan, tapi bukan berarti meninggalkan pemantauan dan penilaian.
Demikian, semoga bermanfaat bagi kemajuan pendidikan di daerah kita masing-masing.

13 Juli 2009

Pemetaan Bahan Ajar

Setiap guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran diwajibkan membuat persiapan pelaksanaan pembelajaran. Guru dapat dianggap telah membuat persiapan untuk pelaksanaan pembelajaran dibuktikan secara fisik oleh adanya silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Silabus dibuat untuk dapat dipergunakan sekurang-kurangnya selama satu semester kegiatan pembelajaran, sedangkan RPP dibuat untuk setiap kali pertemuan dalam pelaksanaan pembelajaran.
RPP sekurang-kurangnya harus berisi identitas mata pelajaran, kompetensi dasar, indikator ketercapaian, uraian materi pelajaran, dan penilaian. Kompetensi dasar dan indikator ketercapaian disalin dari silabus, uraian materi pelajaran dan penilaian dibuat oleh guru. Uraian materi pelajaran merupakan bahan ajar yang harus diserap oleh siswa sesuai dengan yang diharapkan indikator ketercapaian. Sedangkan penilaian digunakan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran sesuai dengan indikator ketercapaian yang telah dibuat.
Kemampuan yang harus dimiliki guru dalam membuat silabus antara lain adalah menjabarkan setiap kompetensi dasar ke dalam satu atau beberapa indikator ketercapaian kompetensi. Untuk merumuskan indikator, setiap guru hendaknya memperhatikan karakteristik siswa, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian. Ketidakmampuan guru dalam merumuskan indikator-indikator akan berpengaruh pada ketercapaian kompetensi dasar, dan pada akhirnya berakibat terhadap rendahnya daya serap siswa.
Banyaknya macam buku pelajaran yang mengaku sebagai buku yang sesuai dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang biasa dijadikan buku pegangan siswa, juga dijadikan oleh guru sebagai satu-satunya sumber untuk menjabarkan kompetensi dasar menjadi rumusan indikator ketercapaian kompetensi. Guru, pada umumnya, dalam membuat indikator ketercapaian berpedoman pada isi buku pelajaran yang menjadi pegangan siswa dan tidak lagi memperhatikan kompetensi dasar dari mata pelajaran yang diampunya. Akibatnya adalah banyak materi pelajaran yang kemudian disampaikan dalam kegiatan pembelajaran menjadi terlalu banyak dan bahkan keluar dari standar kompetensi.
Untuk mengurangi tingkat kesalahan guru dalam menjabarkan kompetensi dasar, maka guru sebaiknya membuat pemetaan bahan ajar. Caranya adalah dengan mempelajari soal-soal ujian nasional selama sekurang-kurangnya lima tahun terakhir. Soal-soal tersebut dikelompokan berdasarkan kompetensi dasar dan standar kompetensi yang sesuai. Soal-soal tersebut kemudian dibuatkan pembahasannya. Dari hasil pengelompokan tersebut tentunya akan memperlihatkan peta penyebaran materi pelajaran penting yang selalu dan terbanyak dijadikan bahan penilaian tingkat nasional. Pemetaan ini juga bisa dilakukan pada soal-soal ujian masuk perguruan tinggi negeri dan olimpiade. Pemetaan bahan ajar sampai dengan pembuatan RPP bisa dilakukan guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), terutama MGMP yang dibiayai oleh LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan).

12 Juli 2009

RSBI Banjarbaru

Kamis dan Jumat minggu ini kami banyak mendapat informasi yang berhubungan dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Salah satu nara sumber adalah pejabat dari Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru yang tentu saja lebih banyak menginformasikan kondisi RSBI di Banjarbaru. Komitmen Pemko memajukan RSBI terlihat dalam bidang keuangan, dan (maaf) sikap main perintah yang berakibat pada pendanaan yang digali dari orang tua siswa semakin besar.
Salah satu kendala yang dihadapi RSBI adalah tuntutan untuk melaksanakan bilingual. Nara sumber menyarankan agar sekolah melaksanakan kursus bahasa asing kepada para guru atau mengirim guru ke kampung yang warga masyarakatnya berbahasa asing atau sekolah ke luar negeri. Biaya semua kebijakan sekolah yang dapat mendorong para gurunya mampu berbahasa asing disediakan oleh sekolah dan komite sekolah.
Karena saya tidak diberi kesempatan mengemukakan pendapat waktu itu, maka ketika istirahat kepada kepala sekolah saya kemukakan pendapat bahwa untuk mendorong para guru mau belajar bahasa asing tidak memerlukan biaya yang besar. Caranya adalah dengan melaksanakan kompetisi bagi para guru di wilayah Pemko Banjarbaru. Guru mata pelajaran yang memiliki kemampuan terbaik dalam berbahasa asing tertentu dimutasi ke sekolah RSBI dan guru di sekolah RSBI yang tidak berminat belajar bahasa asing sesuai keperluan dimutasi ke sekolah non RSBI.
Kepala sekolah menyatakan bahwa cara itu sudah diusulkan oleh pihak Disdik Kota Banjarbaru, tetapi terbentur di BKD Kota Banjarbaru. Kalau informasi ini benar, maka hambatan pengembangan RSBI di Banjarbaru bukan pada aparat yang berkecimpung di bidang pendidikan. Karena mimpi Walikota Banjarbaru salah satunya adalah menjadikan Kota Banjarbaru sebagai kota pendidikan, maka akan sangat baik apabila pihak Disdik dan BKD bersama-sama membicarakannya dengan Walikota.
Demikian saran ini dikemukakan, semoga bermanfaat bagi kemajuan pendidikan, terutama yang ada di Banjarbaru.

21 Juni 2009

Donatur Sekolah

Kemarin, Sabtu, tanggal 20 Juni 2009, koran yang terbit di Kalimantan Selatan salah satu beritanya adalah tentang upaya Pemerintah Propinsi Kalsel mendorong semangat berprestasi di bidang akademis bagi para siswa. Caranya adalah dengan memberikan sejumlah beasiswa kepada siswa yang berhasil memperoleh nilai tertinggi dalam mengikuti Ujian Nasional.

Beberapa hari yang lalu ada seorang kepala sekolah yang bercerita bahwa Rosehan Noor Bahri (Wakil Gubernur Kalsel) tahun lalu (2008) membagikan sejumlah uang yang sangat banyak kepada sekitar 10 orang siswa berprestasi di sekolahnya. Waktu itu di sekolahnya sedang diadakan acara pelepasan siswa yang telah dinyatakan lulus. Kita tidak perlu terkejut dengan tindakan Pak Rosehan tersebut, karena beliau memang sering memberikan bantuan ke sekolah-sekolah. SMPN 6 dan SMAN 7 misalnya, pernah mendapat bantuan peralatan musik dari beliau. SMAN 3 Banjarmasin juga pernah mendapat bantuan ketika sekolah tersebut merayakan HUT-nya. Semoga semakin banyak orang yang di Kalsel ini yang berperilaku seperti Pak Rosehan Noor Bahri.

Sebenarnya sangat banyak individu, lembaga, dan perusahaan yang senang memberikan bantuan kepada sekolah. Bantuan mereka dapat berupa sejumlah dana, bisa pula dalam bentuk bantuan sarana pendidikan. SMPN 1 Banjarmasin, misalnya, pembangunan halaman dalam sekolah untuk upacara dan olahraga mendapat bantuan dari BPD Kalsel. Di masa lalu SMAN 1 Bati-bati pernah mendapat bantuan untuk membangun lapangan basket dari perusahaan Indomie, kemudian di tengah lapangan tersebut dituliskan nama perusahaan tersebut.

Cara yang dilakukan SMAN 1 Bati-bati sebenarnya sangat bagus ditiru oleh sekolah-sekolah lain dengan harapan ke sekolah tersebut semakin banyak mengalir bantuan pendidikan. Donatur bisa saja tidak berharap mendapat perlakuan seperti cara berterima kasih yang dilakukan SMAN 1 Bati-bati, tetapi sebagai lembaga pendidikan tentu sangat pantas mengumumkan nama-nama donaturnya. Dengan pengumuman seperti itu, masyarakat dapat menilai kompetensi sosial dari kepala sekolahnya.

Bagaimana cara mengumumkan bantuan pihak luar sekolah yang berhubungan dengan beasiswa? Kompas hari ini, Minggu, 21 Juni 2009, mengulas seorang warga negara Indonesia dengan judul esantunan Anies R Baswedan”. Anies R Baswedan sekarang menjabat Rektor Universitas Paramadina Jakarta yang menjadi pemandu debat pertama calon presiden RI. Salah satu program yang beliau terapkan di Universitas paramadina ternyata mengadopsi konsep yang biasa digunakan di universitas-universitas di Amerika Utara dan Eropa. Bahwa setiap mahasiswa yang memperoleh beasiswa wajib mencantumkan namanya dan nama donaturnya dalam setiap publikasi dan tulisan.

Sekolah, selain meniru model universitas sebagaimana dikemukakan di atas, juga bisa membuat papan pengumuman di depan sekolahnya yang mencantumkan jumlah siswa penerima beasiswa dan nama pemberi beasiswa. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan kita.

16 Mei 2009

Sertifikasi Pengawas (1)

Lama nian aku tak menghiraukan blog yang kubuat. Penyebab tindakan ini karena aku disibukkan oleh keinginan memenuhi persyaratan yang dituntut agar bisa disertakan dalam sertifikasi. Semula aku diberitahu dalam forum rapat bahwa kami akan disertifikasi, tetapi yang boleh ikut sertifikasi itu adalah orang yang namanya tercantum di pengumuman. Setelah melihat papan pengumuman, alhamdulillah namaku tercantum di urutan kedua dari bawah. Ada memang rekan seprofesiku yang tidak disertakan.

Semula aku tidak begitu berharap diikutkan sertifikasi, sebab selain Allah SWT telah memberi rezeki di luar pekerjaanku yang, menurut ukuranku, lebih banyak dibanding gajiku sebagai PNS, juga aku sering tidak diusulkan oleh rekan-rekanku untuk ikut diklat ketika harusnya aku ikut. Bahkan pernah ada pimpro di propinsi yang memberitahukan bahwa tidak diikutkannya aku karena pimpinanku beralasan ke pompro tersebut “aku sedang sibuk.” Padahal selama pelaksanaan diklat mereka, aku tidak memiliki kesibukan apa pun. Diklat tersebut bagi aku sangat penting untuk diikuti, karena dengan ikut diklat tersebut aku menjadi resmi dengan profesiku ini. Kalau dalam dunia birokrasi sering diistilahkan dengan dukdik (duduk dulu baru kemudian dididik).

Aku sering menegur mereka dengan bahasa agama, misalnya: (pertama) Rasulullah ketika sedang berjalan melihat ada duri di jalan, maka beliau akan mengambil duri itu dan membuangnya ke pinggir jalan. Maknanya, kataku, kalau ingin meniru Rasulullah, maka berilah kelapangan jalan (karir) bagi rekan kita, tapi kita akan berdosa ketika membuat penghalang di jalan yang akan dilalui orang. Kedua, kikir itu jangan hanya ditafsirkan pada harta saja, tetapi ada juga kikir dalam perbuatan. Orang bisa dianggap kikir apabila tidak mau membantu orang lain yang sedang memerlukan padahal ia mampu membantunya.

Setelah dua tahun menjalani profesiku dengan perlakuan, menurut ukuranku, tidak adil dari beberapa rekan dan bosku, maka dalam diriku mulai muncul nafsu kebinatanganku. Biasanya proses kerja nafsuku yang diperlihatkan dalam perilakuku adalah diam – menegur – tidak berpartisifasi – menuntut – menganiaya. Bulan Maret yang lalu, setelah membaca PP 74 Tahun 2009, aku tahu tentang aturan bahwa profesiku akan disertifikasi, sehingga aku bicarakan pada mereka tentang berita baik itu dan meyakinkan rekan-rekan bahwa semuanya harus diikutkan. Bosku bilang tidak semuanya bisa diikutkan, lalu kujawab bahwa semua orang sanggup melanggar aturan, untungnya bosku diam. Bulan April 2009 saya diikutkan diklat yang dalam isi surat panggilan memang merupakan hakku untuk menjadi peserta.

Selesai diklat setiap peserta diberi masing-masing satu CD yang berisi segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas profesi kami, termasuk yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi. Sekitar empat hari yang lalu aku berhasil men-download Buku 8 di internet yang isinya berupa pedoman membuat portofolio untuk sertifikasi. Digabungkan dengan CD dari diklat, hingga saat ini saya sidah berhasil merancang RKA dan RKM serta program lainnya.

Alhamdulillah, Allah SWT telah memberikan jalan yang lebih mudah kepadaku, walaupun batas kesabaranku hampir habis.

15 Mei 2009

Martabat Guru

Berkaitan dengan hiruk pikuk pemberitaan Ujian Nasional (UN) yang baru lalu, ternyata ada tindakan dari pihak sekolah yang tidak terpuji. Hari ini di kolom surat pembaca harian Kompas misalnya, ada orang tua siswa yang menceritakan bahwa anaknya menangis karena kesulitan menjawab soal Matematika, sedangkan teman-teman si anak mendapat kemudahan karena dibantu kunci jawaban. Selain itu di halaman Humaniora diberitakan bahwa berita bahwa Wapres Yusuf Kalla berkunjung ke Kantor PB PGRI. Dalam pertemuan tersebut, Ketua Umum PB PGRI, Sulistyo menyampaikan keluhan bahwa : ”Dalam penyelenggaraan UN, guru ingin menegakkan mutu dengan cara yang elegan dan mengedepankan prinsip-prinsip serta etika pendidikan. Namun, di sisi lain guru banyak dikooptasi kepentingan pemegang kekuasaan, seperti kepala dinas dan kepala daerah yang berambisi agar anak-anak lulus dan tidak mempermalukan daerah.”

Kalau benar apa yang dikemukakan dalam surat pembaca dan Ketua Umum PB PGRI, maka yang paling dirugikan adalah bangsa Indonesia. Sebab dunia pendidikan telah mengajarkan, atau bahkan membiasakan, tindakan melanggar aturan kepada generasi muda bangsa Indonesia. Perlu diingatkan bahwa para siswa yang menjadi peserta UN merupakan generasi muda calon pemimpin negara RI di masa yang akan datang. Karena generasi muda sudah terbiasa melihat atau mengalami perlakuan melanggar aturan, maka sebagian besar dari mereka akan meneruskannya di masa mendatang, sedangkan sebagian dari orang (siswa) yang semula berusaha berbuat sesuai aturan akan prustrasi dan akan ikut arus kelompok pelanggar aturan. Selanjutnya, di masa mendatang negara ini akan dikuasai atau dipimpin oleh kelompok pelanggar aturan. Akibatnya harap ditebak sendiri.

Pemerintah sebenarnya sudah berusaha mengantisipasi keburukan yang mungkin muncul di masa mendatang, salah satu caranya adalah dengan membuat kebijakan terkait Sertifikasi Guru. Dengan kebijakan tersebut diharapkan guru dapat menahan tekanan sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Umum PB PGRI dan atau menjual kunci jawaban soal-soal UN. Penghasilan guru yang tinggi diharapkan dapat menghidupkan semangat menjaga dan meningkatkan martabat diri mereka. Kalau dengan penghasilan yang tinggi itu para guru masih saja tidak mampu menahan tekanan yang bertentangan dengan nurani seorang pendidik, maka ada maksud lain dalam pikiran dan perasaan para pendidik.

08 Mei 2009

Pelajaran Bahasa Inggris

Pertanyaan yang sering penulis lontarkan kepada guru Bahasa Inggris di sekolah adalah : “Berapa persen dari siswa Anda yang bisa berkomunikasi bahasa Inggris apabila mereka tidak ikut kursus di lembaga bimbingan, setelah mereka belajar di sekolah selama tiga tahun?” Bagi guru yang mengajar di SMA, waktu belajarnya menjadi enam tahun. Ternyata semuanya tidak bisa menjamin, walaupun persentasenya hanya dibatasi sampai sepuluh persen. Kemudian penulis menceritakan kepada guru tersebut pengalaman ketika berkomunikasi dengan pegawai perusahaan yang biasa melakukan rekrutmen pegawai. Menurut pegawai perusahaan tersebut bahwa tes wawancara dalam bahasa Inggris yang biasa mereka lakukan hanyalah berupa pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari pelamar kerja. Apabila pelamar kerja mampu berbahasa Inggris (dengan baik), maka nilai yang diperoleh akan tinggi dan besar kemungkinan lamarannya diterima.

Sekolah setingkat SMP dan SMA itu tidak hanya berada di ibukota kabupaten, tetapi sudah ada di pelosok desa. Bahkan Bupati Kotabaru sekarang ini sedang giat membangun SMA sampai di tingkat kecamatan. Para siswa yang sekolah di desa atau kecamatan sebagian besar tidak berminat meneruskan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi, apalagi sampai ke luar negeri. Bahkan masih ada kepala sekolah yang mengungkapkan bahwa apabila musim panen padi atau ikan tiba, banyak siswa yang tidak turun ke sekolah. Kepada mereka tentu akan lebih bermanfaat apabila pelajaran bahasa Inggris lebih dititikberatkan pada kemampuan berbicara. Hal ini tidak menyimpang dari tujuan belajar bahasa Inggris, yaitu mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan dan tulis untuk mencapai tingkat literasi informational.

Konon, setiap guru hendaknya melaksanakan kegiatan pembelajaran yang nyaman, tetapi dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah lebih banyak menuntut perhatian yang lebih pada tata bahasa karena (menurut pembuat kurikulum bahasa Inggris) kelalaian bertata bahasa dapat menimbulkan banyak miskomunikasi yang barangkali tidak berdampak serius dalam percakapan santai, tetapi bisa berdampak sangat serius bahkan berakibat fatal dalam konteks formal atau akademis. Akibatnya pada umumnya siswa menjadi tidak nyaman ketika belajar bahasa Inggris, ini dapat dilihat ketika kepada siswa ditanyakan mata pelajaran yang disukai, maka bahasa Inggris pada umumnya berada kelompok tengah dan bahkan bawah dari semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Perhatian yang lebih pada tata bahasa dalam pelajaran bahasa Inggris sebaiknya dilakukan pada sekolah-sekolah bertaraf internasional dan atau sekolah berstandar nasional.

Calon Guru

Saya pernah menjadi guru pamong, yaitu guru di sekolah yang mendapat tugas membimbing mahasiswa yang melaksanakan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan). Ketika itu ada mahasiswa yang akan masuk kelas untuk melaksanakan tugas PPL-nya berpakaian tidak rapi, seperti lengan baju yang digulung. Karena sudah dua kali ditegur agar tidak mengulang perbuatannya, dan teguran tidak dihiraukan, maka dengan terpaksa si mahasiswa tidak diluluskan. Itu kejadian ditahun 1990-an. Di tahun 2006, saya dapat tugas lagi membimbing mahasiswa yang melaksanakan PPL, ternyata pakaian mereka semua sangat rapi, tetapi tidak disiplin dan tidak memiliki bekal pengetahuan dasar untuk menjadi guru. Setelah dijelaskan cara menjabarkan kompetensi dasar (KD), mereka manggut-manggut dan menyatakan mengerti atas penjelasan tersebut. Kemudian dibuatkan contoh format silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk memindahkan hasil jabaran tersebut. Mereka kembali menyatakan mengerti. Seminggu berikutnya, dengan keterlambatan beberapa hari sebagaimana kesepakatan kami, mereka datang tanpa membawa model silabus dan RPP sebagaimana tugas yang harus mereka kerjakan.

Banyak mahasiswa PPL Tahap II yang datang ke sekolah tempat praktiknya langsung meminjam silabus dan RPP milik guru pamong. Kata mereka, tindakan tersebut disarankan oleh dosen pembimbing mereka. Idealnya, seorang guru akan lebih mudah dan lebih nyaman melaksanakan kegiatan pembelajaran apabila RPP untuk kegiatan proses pembelajaran merupakan buatan sendiri. Kadang-kadang, adanya mahasiswa PPL Tahap II itu merugikan bagi guru pamong, karena terhambatnya laju pencapaian target pembelajaran yang telah dirancang diawal semester dan atau diawal tahun pelajaran oleh guru pamong. Akan lebih parah lagi kerugiannya apabila si guru pamong mendapat tugas mengajar di kelas tiga.

PPL biasanya dilaksanakan sebanyak dua tahap. PPL Tahap I dan PPL Tahap II dilaksanakan berbeda semester. Lamanya PPL Tahap I biasanya seminggu, sedangkan PPL Tahap II lamanya sekitar dua bulan. Selama mengikuti PPL Tahap I para mahasiswa harus berada di sekolah tempat praktik sama dengan waktu belajar siswa. Kegiatan utama mereka selama di sekolah adalah meminjam dan mengcopi silabus dan RPP milik guru pamong serta beberapa kali menyaksikan cara guru pamong melaksanakan proses pembelajaran. Dengan anggapan bahwa guru setiap tahun menyempurnakan silabus dan membuat kembali RPP, maka para mahasiswa PPL Tahap II meminjam kembali silabus dan RPP buatan guru pamongnya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan salah paham pada guru pamong, karena dapat memunculkan anggapan bahwa mereka sedang disupervisi oleh mahasiswa PPL.

Di perguruan tinggi yang mempersiapkan calon guru tentu ada mata kuliah yang mempelajari tentang kurikulum. Akan sangat baik apabila dalam mata kuliah kurikulum tersebut dimasukkan materi yang berhubungan dengan penjabaran kurikulum. Dan akan semakin baik lagi apabila materi penjabaran kurikulum itu disesuaikan dengan yang sedang berlaku di sekolah, bukan yang berlaku di perguruan tinggi. Harapan lainnya, akan lebih bermanfaat bagi para mahasiswa PPL Tahap I apabila tiga hari pertama ketika mereka harus berada di sekolah praktik, mereka dilatih oleh pihak sekolah (wakasek kurikulum) membuat silabus dan RPP. Hasil latihan akan diteruskan oleh para mahasiswa di kampus masing-masing, selanjutnya diharapkan ketika mereka melakukan kegiatan PPL Tahap II di semester berikutnya, mereka sudah siap dengan bahan pelajaran untuk siswa di sekolah tempat praktik.

07 Mei 2009

Upah Minimum Guru

Judul tulisan ini mirip dengan judul berita yang dimuat koran Kompas yang terbit hari Kamis, 7 Mei 2009 halaman 12. Isi tulisan sepertinya nyambung dengan pembicaraan kami terhadap beberapa kepala sekolah swasta. Setelah pagi tadi kami baca tulisan tersebut, beberapa kepala sekolah yang berbeda yayasan kami beritahu agar mereka membaca berita dari Kompas tersebut dan selanjutnya kunjungi mereka ke sekolahnya. Maksud kunjungan adalah untuk tukar pendapat agar ketika RPP (Rencana Peraturan Pemerintah) Guru Non-PNS diberlakukan pihak sekolah dan atau yayasan dengan mudah menerapkannya.

Niat pemerintah membuat standar upah (gaji) guru non-PNS sangat baik bagi para guru, tetapi bagi pihak pemilik dan atau pengelola sekolah menjadi tantangan berat. Sebab bagi sekolah yang jumlah siswanya sedikit bisa jadi akan bubar serta bagi sekolah yang berstatus negeri akan mengalami kesulitan melaksanakan pelayanan pembelajaran bagi para siswanya. Ketika RPP Guru Non-PNS disahkan menjadi PP (Peraturan Pemerintah), sekolah negeri akan mengalami kesulitan memenuhi kekurangan guru karena pemerintah daerahnya sedang sibuk berkampanye dan atau melaksanakan program sekolah gratis.

Idealnya sebuah yayasan atau lembaga pendidikan non-pemerintah yang berani membuka sekolah sekurang-kurangnya sudah memperhitungkan biaya pembangunan, pemeliharaan, dan penyelenggaraan sekolah. Sebab, biasanya ketika pengurus yayasan mengajukan ijin pendirian sekolah selalu ada kalimat yang pengertiannya “ingin membantu pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak bangsa.” Membantu pemerintah tentu sangat berbeda pengertiannya dengan membebani pemerintah. Jadi sangatlah tidak elok apabila ada sekolah swasta yang selalu mengeluh akan kurangnya perhatian pemerintah.

Sebelum disahkannya RPP Guru Non-PNS, sebaiknya pihak sekolah dan atau yayasan pemilik sekolah mempersiapkan strategi untuk meningkatkan mutu sekolah. Jadi ketika RPP jadi diberlakukan yang berarti kesejahteraan guru membaik, maka pihak sekolah harus mengimbanginya dengan strategi agar gurunya, baik sadar maupun tidak sadar, termotivasi untuk meningkatkan mutu hasil pembelajarannya.

Dua tahun terakhir penulis kebetulan lebih banyak mengamati dua grup sekolah di Banjarmasin yang dikelola oleh dua yayasan yang berbeda. Ada beberapa saran yang pernah disampaikan kepada pihak sekolah dan atau pihak yayasan. Pertama, ketika kepada salah seorang pengurus yayasan disarankan agar pihak yayasan mengelola penggajian kepada para guru pengajar di sekolah-sekolah dengan alasan untuk mengurangi beban kerja dan pikiran para kepala sekolah serta agar dapat membantu menghidupi sekolah yang sedikit jumlah siswanya, pihak yayasan mengungkapkan bahwa cara itu tidak sesuai dengan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yayasan. Kemudian ketika kita kemukakan bahwa kalau masih mengikuti AD/ART berarti akan ada beberapa sekolah dari yayasan tersebut yang akan bubar, pihak oknum pengurus yayasan tersebut dengan enteng menjawab bahwa bubarnya sekolah bukan menjadi tanggung jawab yayasan, tetapi tanggung jawab pengelola sekolah. Dari komunikasi sebagaimana diungkapkan di atas, maka karena AD/ART yayasan tidak selevel dengan Al-Qur’an, maka tentu AD/ART bisa diubah. UUD RI 1945 saja bisa diamandemen, apalah artinya AD/ART yang tentu saja bisa diubah asalkan dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan hidup sekolah yang dipayungi oleh yayasan.

Kedua, kepada beberapa sekolah yang sama yang bernaung di bawah yayasan yang sama pula, pernah disarankan bahwa agar mereka mau saling bantu sambil membuat standar nilai hasil belajar para siswanya. Caranya, misalnya dengan melaksanakan penilaian hasil belajar bersama sehingga sekolah yang jumlah siswanya sedikit akan terbantu dalam hal pembiayaan penilaian hasil belajar tanpa membebani pengeluaran sekolah yang jumlah siswanya lebih banyak. Keuntungan lain yang bisa didapat adalah sekolah yang sama dalam satu yayasan dapat membuat standar penilaian hasil belajar sendiri.

Sedangkan untuk mengantisipasi pengesahan sampai pemberlakuan RPP Guru Non-PNS kepada beberapa kepala sekolah yang penulis temui hari ini adalah (1) sebaiknya dirancang bentuk kontrak kerja guru yang nantinya akan diangkat yayasan sehingga memperoleh penghasilan sekurang-kurangnya sama dengan UMR (Upah Minimum Regional). Rancangan kontrak kerja itu sebaiknya berisi sekurang-kurangnya tentang jumlah jam minimal, administrasi pembelajaran yang harus dibuat guru, dan jaminan mutu yang disanggupi oleh guru. (2) Guru yang diangkat oleh yayasan tidak harus bertugas pada satu sekolah, tetapi dapat bertugas pada beberapa sekolah sejenis yang dimiliki oleh yayasan. Hal ini dilakukan agar guru dalam mengajar terfokus pada satu mata pelajaran dan satu tingkatan kelas saja, sehingga penguasaan guru terhadap materi pelajaran menjadi lebih bagus.

Ujian Nasional (4)

Perlu Pembiasaan

Malam Ahad yang lalu saya bertemu dengan orang yang punya perhatian lebih terhadap dunia pendidikan. Dia cerita bahwa ada siswa SMP dan SMA yang menyatakan bahwa soal UN yang mereka hadapi lebih mudah dibandingkan soal Ujicoba UN yang pernah mereka hadapi. Penyedia soal Ujicoba UN, katanya, berasal dari tiga pihak, yaitu Disdik Propinsi, Lembaga Bimbingan yang bekerjasama dengan K3S, dan para guru di sekolah. Saya bilang pada teman itu bahwa hari pertama UN jam 08.30 soal Bahasa Indonesia sudah diketahui para peserta UN, betulkah? Semula teman itu diam, kemudian tersenyum dan kemudian kami membicarakan banyaknya kepala sekolah di Sumatera yang ditangkap polisi karena tertangkap membocorkan soal UN. Hal menarik dari pembicaraan kami malam itu adalah bahwa terjadinya upaya membocorkan atau mencari bocoran soal UN antara lain disebabkan siswa kurang banyak latihan mengerjakan soal dengan perlakuan seperti UN.

Bentuk soal yang dikerjakan oleh para peserta UN adalah pilihan ganda. Sedangkan para siswa yang kemudian menjadi peserta UN terbiasa mengerjakan soal dalam bentuk uraian. Bentuk soal uraian tersebut tidak hanya dikerjakan para siswa pada waktu mengikuti ulangan harian, tetapi juga sampai pada saat pelaksanaan ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas. Sewaktu ulangan semester dan atau ulangan kenaikan kelas ada juga guru sekolah yang membuat soal dalam dua bentuk, dan pada umumnya soal uraian berjumlah masing-masing lima item, sedangkan soal pilihan ganda bervariasi jumlahnya. Ada sekolah yang menetapkan jumlah soal pilihan gandanya 20 item, ada yang 40 item, dan yang tidak mencampurnya dengan soal bentuk uraian maka soal pilihan gandanya antara 50 sampai 60 item.

Salah satu pekerjaan yang saya geluti sekarang ini adalah bidang percetakan dengan pelanggan sejumlah sekolah yang tersebar di Banjarmasin sampai ke kabupaten lainnya di Kalimantan Selatan. Dari beberapa pelanggan ini, ternyata sekolah yang persentase jumlah peserta UN-nya lulus sangat besar adalah sekolah-sekolah yang membiasakan siswanya ketika ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas selalu mengerjakan soal berbentuk pilihan ganda dengan jumlah antara 50 sampai 60 item dalam waktu 90 menit. Soal-soal pilihan ganda yang dipakai untuk ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas tersebut sebagiannya merupakan soal yang mirip dengan soal UN tahun-tahun sebelumnya.

Selain membiasakan siswa mengerjakan soal pilihan ganda dalam setiap ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas, tentu akan semakin baik apabila sekolah juga menggunakan soal bukan buatan gurunya. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan bagi guru untuk koreksi diri. Sebab, apabila gurunya sendiri saja yang membuat soal untuk ulangan siswa, maka ada kebiasaan buruk guru yang hanya memberikan soal ulangan kepada siswanya sebatas materi pelajaran yang telah dia berikan. Sedangkan apabila soal dibuat oleh guru dari sekolah lain, maka ada kemungkinan terdapat materi pelajaran penting yang belum diketahui guru, sehingga nantinya si guru diharapkan mau belajar kembali tentang materi yang belum diketahuinya tersebut. Selanjutnya, guru yang mau belajar kembali atau lebih memperdalam materi yang harus disampaikannya ke siswa akan memberi keuntungan kepada siswanya.

06 Mei 2009

Ujian Nasional (3)

Otonomi di Sekolah

Mulai tahun 2000-an ada kebijakan Departemen Pendidikan Nasional RI yang memberi kewenangan lebih luas kepada pengelolan satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Kewenangan dimaksud biasanya disebut sebagai otonomi sekolah dan atau otonomi guru. Namun, dengan pemahaman otonomi sebagai mengelola dan menentukan sendiri mengakibatkan munculnya keraguan terhadap keberhasilan peningkatan mutu yang dicapai. Keraguan tersebut dapat dilihat dari adanya tindakan tidak terpuji pihak sekolah dan atau guru yang berusaha membantu siswa menjawab soal-soal UN.

Otonomi ternyata menumbuhkan arogansi. Banyak sekolah dengan alasan otonomi tidak mau lagi melakukan kerjasama dengan sekolah sejenis lainnya. Begitu pula dengan para gurunya, mereka yang bertugas di sekolah (merasa) hebat tidak mau lagi aktif di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Alasan mereka karena guru dan pengelola sekolah memiliki kebebasan sendiri dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Bahkan kadang-kadang para pengelola sekolah lupa bahwa aturan yang berada di atas ketentuan tentang otonomi sekolah, yaitu Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Tetapi dalam kenyataan, banyak para guru yang bertugas di sekolah (merasa) hebat, ketika membuat penjabaran terhadap Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam bentuk silabus, mereka melakukan copy paste terhadap contoh yang telah ada.

Arogansi guru dan para pengelola sekolah merupakan penyebab para siswa di sekolah seperti katak dalam tempurung. Para siswa terkungkung dalam kebijakan sekolah yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Bahwa selama tiga tahun belajar di sekolah para siswa menerima pelajaran sampai penilaian hasil belajar hanya berasal dari gurunya saja. Ketika para siswa tersebut mengikuti UN, tentu akan sangat banyak dari mereka yang terkejut karena sangat berbedanya antara soal yang biasa dibuat oleh gurunya dengan soal dalam UN.

Pengalaman siswa terhadap dunia luar sekolahnya pada umumnya terjadi pada semester akhir mendekati UN dalam bentuk ujicoba atau try out UN. Ada sekolah yang merencanakan kegiatan ujicoba UN selama satu semester akhir tersebut sebanyak 5 (lima) kali, tetapi ternyata yang terlaksana hanya paling banyak 3 (tiga) kali saja. Penyebabnya (1) ujicoba tidak dirancang sejak awal tahun pelajaran, terutama yang berhubungan dengan perangkatnya; (2) dana yang dimiliki oleh sekolah sangat terbatas; dan (3) waktu untuk melaksanakan ujicoba pada semester akhir tidak memungkinkan, karena biasanya para guru setelah ujicoba akan membahas soal yang diujicobakan bersama para siswanya.

Ujian Nasional (2)

Standar Kelulusan

Mulai bulan Desember sampai Maret ditahun berikutnya dunia pendidikan di Indonesia selalu diramaikan oleh pendapat yang berhubungan dengan pro dan kontra terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) serta para pendidik biasanya mengungkapkan keberatannya pada standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah. Pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN akan dibahas pada bagian lain. Bagian ini akan mempertanyakan tentang sikap para pendidik yang keberatan terhadap batas lulus yang telah ditentukan oleh pemerintah. Para pendidik yang keberatan tersebut sepertinya lupa dengan sikap mereka sendiri ketika membuat ketentuan yang berhubungan dengan kenaikan kelas para siswanya.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada ketentuan bahwa setiap guru mata pelajaran menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa mengikuti proses pembelajaran untuk masa satu tahun pelajaran. Pada umumnya KKM yang ditentukan oleh setiap guru mata pelajaran tidak kurang dari 6,00. Bahkan ada guru mata pelajaran yang menetapkan KKM-nya sampai dengan 7,50. KKM merupakan standar keberhasilan belajar yang harus dicapai oleh siswa. Apabila nilai ulangan yang diperoleh siswa belum mencapai KKM, maka siswa dianggap belum berhasil menyerap materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Standar kelulusan bagi peserta UN setiap tahun mengalami kenaikan, dalam pelaksanaan tahun 2009 menjadi rata-rata 5,50. Ketentuan ini mengacu pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN. Keputusan BSNP tentang POS UN untuk SMP dan yang sederajat, Sekolah Luar Biasa (SMP dan SMA) serta Sekolah Menengah Kejuruan tertuang dalam keputusan bernomor 1513/BSNP/XII/2008, sedangkan untuk SMA/MA tertuang dalam keputusan bernomor 1512/BSNP/XII/2008. Pada masing-masing keputusan itu juga dikemukakan bahwa setiap Kabupaten/Kota dan atau satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dianggap bahwa standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak BSNP paling tidak berada pada standar rata-rata yang memungkinkan dicapai oleh pada umumnya satuan pendidikan di Indonesia.

Membandingkan antara KKM yang telah ditetapkan oleh guru dengan standar kelulusan yang ditetapkan oleh BSNP, maka idealnya tidak satu pun guru yang keberatan dengan standar kelulusan yang ditetapkan BSNP. Sebab standar kelulusan (keberhasilan menyerap bahan ajar) yang ditetapkan oleh pihak BSNP berada di bawah standar keberhasilan yang sudah ditetapkan oleh para guru dan atau satuan pendidikan. Keberatan oleh pihak guru dan atau satuan pendidikan merupakan gambaran bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di suatu satuan pendidikan dan atau oleh guru. Kesalahan tersebut menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi mereka, dan selanjutnya berakibat pada terjadinya tindakan menyimpang dalam pelaksanaan UN.

05 Mei 2009

Ujian Nasional (1)

Rawan Kebocoran

Setiap tahun, antara bulan April sampai Mei, dunia pendidikan selalu diramaikan dengan pemberitaan tentang terjadinya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang dimaksud adalah tindakan para siswa peserta UN (Ujian Nasional) yang lebih percaya dengan bantuan pihak lain melalui berbagai cara dalam menjawab soal. Pada umumnya para pembantu penjawab soal bagi siswa itu diperkirakan datang dari pihak sekolah atas prakarsa pimpinan sekolah atau guru secara perorangan.

Terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan UN dalam bentuk pembocoran atau bantuan menjawab soal memang tidak selalu datang dari pihak sekolah atau guru. Tetapi apabila diperhatikan dari proses pendistribusian soal yang begitu ketat, maka kebocoran tidak mungkin dilakukan oleh pihak luar lingkungan sekolah. Di Banjarmasin atau daerah lain yang sama cara pendistribusiannya, tahap distribusi yang paling memungkinkan untuk terjadinya penyimpangan ada pada saat soal didistribusikan dari Polsek ke pihak sekolah. Pada tahap ini terjadi penumpukan jumlah orang yang cukup banyak dengan maksud mengambil soal dan waktu pengambilan soal yang singkat.

Saat distribusi ke pihak sekolah, kadang-kadang pihak pembagi (pegawai dinas pendidikan) kurang memperhatikan soal yang akan dibagikan pada hari berikutnya hingga hari terakhir. Perhatian pihak pembagi lebih fokus pada soal-soal yang akan dibagikan untuk hari yang bersangkutan. Ketika itu, pihak sekolah yang berniat melakukan penyimpangan memperoleh peluang untuk mengambil amplop soal hari berikutnya hingga hari terakhir. Amplop soal yang diambil tentunya yang jumlah isinya sedikit (biasa diistilahkan amplop kecil) agar tidak terlalu mencolok ketika dibawa pergi.

25 April 2009

Ada Pelajaran TI

Sekarang di sekolah mulai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) sampai jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) ada pelajaran TI (Teknologi Informasi). Kalangan pendidik di sekolah menafsirkan pelajaran TI itu adalah pelajaran yang berhubungan dengan komputer dan dalam proses pembelajarannya para siswa diharapkan dapat mengoperasikan komputer. Materi pelajaran yang diberikan pada umumnya di sekolah adalah cara mengoperasikan program Word, Excell, Power Point, Access, sampai tata cara berinternet.

Karena dalam pelajaran TI ini para siswa diharapkan dapat mengoperasikan komputer, sehingga pelajaran ini tergolong terapan, maka kepada para siswa idealnya dalam proses pembelajaran lebih banyak melakukan pelatihan. Agar pelatihan dapat berjalan dengan baik, maka setiap sekolah sebaiknya memiliki komputer sekurang-kurangnya sebanyak setengah dari jumlah siswa dalam satu rombongan belajar terbanyak di sekolah. Hal ini dilakukan agar paling tidak setiap satu komputer dipergunakan oleh dua orang siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Pemerintah kabupaten/kota yang dalam setiap kampanyenya menunjukan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keterlaksanaan pendidikan tentu dalam setiap membuat kebijakan tidak hanya terfokus pada kegiatan tatap muka kegiatan pembelajaran. Tetapi perlu memperhatikan pengadaan dan pemeliharaan sarana yang dapat membantu pembelajaran TI. Selain itu, guru TI di sekolah pada umumnya hanya mereka yang bisa mengoperasikan komputer dan bukan mereka yang berlatar belakang pendidikan komputer, sehingga para guru TI pun perlu mendapatkan diklat pembelajaran komputer.

24 April 2009

BOS

Bupati Kotabaru termasuk salah satu pemimpin daerah yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap pendidikan warganya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya yang mendorong dan melaksanakan pendirian sekolah menengah pada setiap kecamatan. Selain itu kebijakan bupati yang membebaskan warganya dari yuran sekolah dan pembayaran lainnya sampai tingkat sekolah menengah. Sebagai pengganti dari kebijakan sekolah gratis tersebut, maka pada jenjang sekolah menengah pihak pemerintah kabupaten memberikan pengganti untuk biaya operasional sekolah (BOS) sebesar tujuh puluh ribu rupiah per siswa per bulan.

Sepintas, kebijakan BOS dari pemerintah kabupaten sangat menguntungkan bagi pengelola sekolah. Sebab yuran sekolah yang harus dibayar oleh siswa pada banyak sekolah tidak sebesar biaya pengganti yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Tetapi, apabila lebih diperhatikan dengan saksama, maka akan terlihat banyak sekolah yang mengalami kesulitan beroperasi karena sangat sedikitnya jumlah siswa yang belajar di sekolah. Hal ini terkait dengan ketersediaan tenaga guru, kondisi geografis, sebaran penduduk dan kebijakan pemerintah kabupaten yang mendirikan sekolah menengah di setiap kecamatan.

Agar kesulitan yang dihadapi oleh sekolah (terutama yang jumlah siswanya sedikit) dalam mengelola biaya pengganti BOS, maka pemerintah perlu juga memperhatikan segala faktor yang terkait dengan keterlaksanaan pembelajaran di sekolah. Faktor dimaksud antara lain adalah ketersediaan isi perpustakaan sekolah, peralatan praktikum di laboratorium, pemeliharaan peralatan belajar, dan penjaga sekolah. Juga perlu disiapkan tenpat tinggal guru yang bertugas di kecamatan karena pada umumnya mereka bukanlah penduduk yang berasal dari sekitar lokasi sekolah.

09 April 2009

Tidak Menghargai Prestasi

Dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya tidak mendorong berkembangnya sikap sportif di kalangan siswa. Sikap para pendidik pada umumnya lebih toleran kepada pihak yang tidak mementingkan prestasi. Akibatnya sangatlah sulit mengembangkan persaingan yang sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya dapat dilihat dari pelaksanaan Pemilu saat ini yang memunculkan bukti-bukti adanya indikasi kecurangan dalam penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) serta adanya himbauan agar parpol dan atau caleg siap menerima kekalahan.

Sebelum tahun 2000, saya di suatu sekolah membuat kebijakan dengan tujuan menumbuhkembangkan sikap sportif di kalangan siswa serta memunculkan dorongan dari dalam diri siswa untuk lebih rajin belajar. Caranya adalah dengan menjadikan peringkat hasil belajar siswa sebagai acuan penentuan tempat atau ruang belajar mereka. Ketika itu masa belajar selama satu tahun pelajaran terbagi dalam tiga caturwulan, sehingga dimungkinkan seorang siswa dalam satu tahun pelajaran akan merasakan belajar ditiga ruang belajar atau mengalami dua kali berpindah ruang belajar. Ketika itu di kalangan rekan-rekan pendidik dan atau mereka yang punya perhatian lebih terhadap perkembangan pendidikan muncul pernyataan dalam bentuk pertanyaan “Bagaimana dengan siswa yang berada diperingkat bawah?” Kemungkinan, kata mereka yang tidak setuju dengan cara yang saya lakukan waktu itu, mereka yang berada di peringkat bawah akan kecewa dan semakin malas belajar. Mereka juga mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan saat itu adalah tidak membenarkan penulisan peringkat di rapor siswa.

Awalnya tanggapan saya adalah dengan memberikan contoh yang berhubungan dengan kompetisi di bidang seni dan olahraga. Adakah, kata saya, di antara peserta kompetisi yang kalah beberapa bulan lalu tidak mau ikut lagi kompetisi yang sama pada bulan berikutnya? Jawaban mereka tidak ada. Tetapi sikap menolak ide sistem peringkat itu semakin keras, sehingga saya minta kepada para penolak agar menghitung persentase siswa prustrasi akibat peringkatnya berada di bawah. Karena tidak ada yang bisa memberi jawaban yang tegas, maka saya kemukakan bahwa, andaikan ada sepuluh persen siswa prustrasi sebagai akibat berlakukan sistem peringkat, maka sistem ini harus terus dilaksanakan dan kita tidak boleh mengalahkan 90% siswa yang senang dengan sistem ini.

Mengenai kebijakan yang tidak setuju dengan penulisan peringkat di rapor merupakan salah satu penyebab berkembangnya sikap di kalangan siswa berupa “asal naik atau asal lulus” dan di masyarakat berkembang sikap tidak siap menerima kekalahan, serta yang lebih parah adalah sangat jarangnya ditemukan prestasi yang memberi manfaat bagi bangsa. Dunia pendidikan kita selama ini memang cenderung tidak menghargai prestasi, tetapi cenderung menghargai pihak-pihak yang menonjolkan kelemahan. (Maaf, saya bersiap ke TPS karena jadi anggota panitia, nanti disambung lagi)

08 April 2009

Pembekalan Guru Baru

Bulan April 2009, pada umumnya pemerintah kota/kabupaten di Kalimantan Selatan membagikan SK pengangkatan Calon PNS bagi guru. Bulan April berarti masa belajar di sekolah sudah mencapai lebih dari setengah semester. Bulan April berarti termasuk pada semester genap yang mendekati ulangan kenaikan kelas bagi para siswa. Kondisi seperti ini berarti kita haruslah dapat memaklumi apabila banyak kepala sekolah tidak memberikan tugas mengajar kepada guru yang baru diangkat pemerintah. Kalau pun guru baru diberikan tugas mengajar oleh sekolah, itu pada umumnya disebabkan karena guru tetap di sekolah itu terlalu banyak mendapat tugas mengajar. Yang jelas, sebaiknya memang, guru baru tidak langsung diberi tugas mengajar, tetapi kepada mereka perlu menyiapkan diri menjadi guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam rentang waktu sekitar tiga bulan, para guru yang baru diangkat sebagai CPNS, oleh pihak dinas pendidikan perlu diberi pembekalan. Kemampuan utama yang hendaknya diberikan kepada mereka terutama berupa kemampuan membuat silabus, kemampuan membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), dan kemampuan menetapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Ketika membuat silabus, para guru baru sebaiknya dibiasakan merancang sendiri silabus tanpa membaca buku yang menjadi bahan bacaan siswa. Mereka sebaiknya diminta mengkaji kompetensi dasar dari mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing. Kemudian mereka diminta menjabarkannya ke dalam komponen silabus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Membuat silabus berdasarkan kemampuan diri sendiri, tanpa melihat contoh silabus milik orang lain yang sudah jadi serta menjadikan ilmu yang dimiliki untuk menjabarkan kompetensi dasar tanpa membaca buku yang menjadi bahan bacaan siswa, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri bagi para guru baru. Dengan adanya rasa percaya diri diharapkan kreativitas mereka akan bisa lebih dipacu dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah masing-masing.

07 April 2009

Kelas Gabung

Permasalahan di sekolah yang umum diketahui dan dibicarakan orang antara lain adalah kekurangan guru dan kekurangan siswa. Bagi sekolah negeri, masalah kekurangan guru yang sangat parah ada pada jenjang sekolah dasar yang lokasi sekolahnya di desa terpencil. Sedangkan sekolah menengah dengan status swasta masalah yang dihadapi adalah kekurangan siswa. Kedua masalah pada jenjang pendidikan yang berbeda ini dikemukakan karena solusi yang dilakukan pihak sekolah hampir sama, yaitu siswa pada tingkat yang berbeda digabung dalam satu ruang belajar untuk menerima pelajaran dari seorang guru. Kreativitas para guru di sekolah seperti ini harusnya memperoleh nilai positif dari pemerintah daerah.

Di sekolah dasar misalnya, karena gurunya ada dua orang, maka siswa kelas 1, 2, dan 3 digabung dalam satu ruang belajar untuk menerima pelajaran dari seorang guru. Begitu juga dengan siswa yang berasal dari kelas 4, 5, dan 6 akan menerima pelajaran dari seorang guru lainnya. Sewaktu menyampaikan materi pelajaran, guru membagi papan tulis menjadi tiga bagian, kemudian menuliskan materi pelajaran pada setiap bagian papan tulis untuk kelas yang berbeda. Cara ini dapat dilakukan karena jumlah siswanya sedikit. Jika jumlah siswa banyak, maka cara yang dilakukan guru adalah dengan menjadwalkan waktu belajar yang berbeda pada siswa yang berbeda kelas.

Di sekolah menengah ternyata ada juga cara belajar yang menggabungkan siswa tingkat kelas yang berbeda dalam satu ruang belajar oleh seorang guru. Cara ini dilakukan oleh pihak sekolah agar pengeluaran sekolah untuk insentif guru bisa lebih sedikit. Biaya operasional sekolah swasta sangat tergantung pada uang sekolah yang dibayarkan oleh siswanya. Parahnya lagi, sekolah swasta yang kekurangan siswa tidak mampu menetapkan uang sekolah kepada siswanya dalam jumlah yang besar.

Siswa yang berbeda tingkat kelas tetapi belajar dalam satu ruangan tentu proses pembelajarannya tidak menggunakan metode ceramah. Metode yang biasa digunakan adalah pemberian tugas. Keuntungan lain yang bisa diperoleh ternyata kadang-kadang terjadi saling bantu dalam memahami materi pelajaran antar siswa yang berbeda tingkat itu.

06 April 2009

Jaminan Mutu

Sekolah sekarang ini sering memasarkan diri dengan berbagai sebutan mentereng. Ada sekolah yang menyebut diri SBI atau sekolah Berstandar Internasional. Ada sekolah yang menyebut diri SSN atau Sekolah Standar Nasional. Namun ternyata isinya yang berbeda dengan sekolah tanpa standar lebih banyak pada penambahan jumlah jam belajar dan penambahan jumlah pembayaran belajar. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah berstandar lebih banyak berasal dari keluarga menengah ke atas. Tetapi ketika ditanyakan kepada pengelola sekolah berstandar, kemampuan apa yang bisa dimiliki siswa setelah belajar selama tiga tahun? Jawabannya akan sama dengan yang dikemukakan oleh sekolah yang tidak berstandar ketika pertanyaan yang sama dikemukakan kepada mereka.

Jaminan mutu yang saya maksudkan, misalnya, seseorang yang ingin memiliki kemampuan menyetir mobil, maka orang tersebut akan belajar di tempat yang mengajarkan tentang menyetir. Orang yang ingin memiliki kemampuan membuat kue amparan tatak, maka ia akan belajar di tempat yang mengajarkan tentang cara membuat amparan tatak. Bagaimana dengan sekolah? Belajar bahasa Inggris selama tiga tahun tetapi pada umumnya para siswanya tidak pandai berbahasa Inggris. Lihat di lembaga bimbingan (kursus) bahasa Inggris, kalau seseorang sudah belajar selama tiga tahun, maka hasilnya sangat lebih baik dibanding hasil belajar bahasa Inggris di sekolah. Andaikan sekolah bisa memberi jaminan bahwa siswa yang belajar di sekolahnya akan bisa berbahasa Inggris menurut ukuran TOEFL adalah 450. Dalam pelajaran agama Islam misalnya, siswa lulusan sekolah tersebut pasti hafal sekian surat.

Setiap guru yang profesional harusnya bisa menetapkan standar kemampuan yang akan dimiliki siswa setelah belajar dengan dia selama sekian jam atau sekian semester aqtau sekian tahun. Apabila semua guru di suatu sekolah sudah menetapkan jaminan mutu tersebut, maka sekolah dapat menetapkan jaminan mutu dari sekolah tersebut. Sekolah yang seperti ini di masa yang akan datang akan menjadi sekolah yang diminati.

05 April 2009

Manfaat Ulangan Bersama

Pelaksanaan UN (Ujian Nasional) menunjukkan bahwa setiap diperlukan alat uji dengan standar yang sama untuk mengukur penggunaan (bahan ajar) yang sama. Bahkan kalau memperhatikan pedoman UN yang berisi standar kelulusan, maka dapat dianggap standar nasional itu dipatok paling rendah, karena setiap sekolah boleh menetapkan sendiri standar kelulusan siswanya asalkan tidak kurang dari standar yang berlaku secara nasional. Tetapi bagi para pejabat yang bertanggung jawab dengan pendidikan di daerah, para kepala sekolah dan para guru, standar yang berlaku secara nasional itu dianggap sangat tinggi, sehingga terjadilah perencanaan dan pelaksanaan tindakan menyimpang guna membantu peserta ujian.

Munculnya keraguan terhadap keberhasilan peserta Ujian Nasional, selain karena rasa kurang percaya dirinya banyak guru, kepala sekolah, dan pejabat penanggung jawab pendidikan di daerah, juga disebabkan para siswa sejak kelas satu terbiasa mengerjakan soal buatan gurunya sendiri. Padahal soal buatan guru sendiri hanya berdasarkan standar yang berlaku di sekolahnya saja, bahkan kadang-kadang ada soal ulangan semester yang dibuat guru seminggu sebelum pelaksanaan ulangan. Ketika disodorkan keinginan untuk melaksanakan ulangan bersama, muncullah keangkuhan para guru dan kepala sekolah yang bertugas di sekolah hebat, yang katanya standar sekolah kami tidak boleh disamakan dengan sekolah pinggiran. Padahal guru dan kepala sekolah di sekolah hebat itu pula yang sering ragu terhadap kemampuan siswanya dalam mengikuti ujian nasional.

Ulangan bersama, selain bermanfaat untuk membiasakan siswa mengerjakan soal bukan buatan gurunya, juga dapat dijadikan alat ukur atau alat introspeksi bagi guru untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuannya untuk memahami, menjabarkan, dan mengajarkan materi KD (Kompetensi Dasar) yang sesuai dengan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yang berlaku secara nasional. Guru yang setelah melakukan introspeksi, kemudian berusaha memperbaiki diri dengan cara belajar kembali materi ajar yang belum dikuasainya akan berdampak positif terhadap hasil belajar siswanya.

Manfaat yang juga bisa diperoleh pihak penanggung jawab pendidikan di daerah (seperti Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota) adalah munculnya peta kemampuan sekolah dan kemampuan guru di daerah sehingga dalam memanggil peserta diklat guru akan lebih baik dari keadaan yang berlaku selama ini. Disdik atau Depag juga akan memiliki dasar yang kuat dalam memberikan penghargaan dan sebagainya kepada kepala sekolah dan guru di daerah yang menjadi tanggung jawabnya.

04 April 2009

Mutu Pendidikan?

Pada tulisan sebelumnya (KD-nya Sama) telah dikemukakan bahwa kemampuan guru yang rendah dan perilaku guru untuk mencari mudahnya dalam melakukan penjabaran terhadap KD (Kompetensi Dasar) merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan sekarang ini. Bagi sebagian besar guru, materi yang ada dalam buku pelajaran yang jadi pegangan siswa tidak perlu dimodifikasi. Sebab buku tersebut menurut para guru dimaksud ditulis orang-orang pintar. Hal ini menunjukkan bahwa para guru merasa rendah diri, padahal tingkat pendidikan para guru dan penulis buku sama.

Pihak yang bertanggung jawab terhadap keberadaan sekolah (termasuk di dalamnya guru) hendaknya membuat kebijakan yang bisa mendorong guru untuk berkreasi atau belajar kembali sehingga bermanfaat bagi peningkatan mutu hasil belajar para siswanya. Salah satu kebijakan dimaksud adalah pelaksanaan ulangan semester bersama dengan menggunakan alat uji yang sama. Penggunaan alat uji yang sama pada hakikatnya merupakan suatu kewajaran, sebab bahan dasar kegiatan pembelajaran (KD) yang digunakan sama untuk jenjang pendidikan yang sama. Dari hasil ulangan semester bersama akan dapat diketahui kemampuan para gurunya dan diharapkan menyadarkan guru akan kemampuan yang dimilikinya.

Dalam jangka waktu tertentu diharapkan pihak pembuat kebijakan melakukan evaluasi terhadap kemampuan para guru. Bagi guru yang memiliki kemampuan baik (tentunya dilihak dari grafik hasil belajar siswanya) harusnya diberikan penghargaan dengan memutasikannya ke sekolah yang lebih baik. Sebaliknya bagi guru yang kemampuannya kurang baik harusnya dimutasi ke sekolah yang kurang baik pula.

02 April 2009

KD-nya Sama

Sekolah sekarang, pada umumnya, dengan alasan otonomi sekolah sehingga merasa berhak untuk menentukan sendiri ukuran keberhasilan pendidikan para siswanya. Sedangkan bagi masyarakat, terutama bagi pihak yang mengaku peduli pendidikan, ukuran keberhasilan pendidikan di suatu sekolah selalu dilihat dari hasil ujian akhir para siswanya. Pendapat masyarakat tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat yang dianut oleh para pendidik, karena keberhasilan pendidikan itu menurut para pendidik tidak hanya diukur dari hasil ujian akhirnya saja. Harapan yang muncul dari hasil proses pendidikan adalah adanya kemampuan para siswa untuk dapat hidup lebih baik di lingkungan masyarakatnya.

Kemampuan para guru untuk membuat kurikulum sendiri sangatlah rendah. Bahkan untuk menjabarkan materi kurikulum yang diberikan oleh pihak Depdiknas pun, masih banyak guru yang dapat dianggap belum mampu. Buktinya? Lihatlah apa yang dilakukan oleh guru ketika mempersiapkan diri untuk mengajar. Bahannya diambil dari buku pelajaran yang beredar di pasaran dan jadi pegangan siswanya. Untuk membuat indikator saja para guru memakai indikator yang sudah dibuatkan penulis buku atau membaca materi buku pelajaran tersebut. Padahal harapan pembuat kurikulum adalah agar guru menjabarkan KD (kompetensi dasar) yang ada dalam kurikulum dengan menggunakan ilmu yang diperolehnya sehingga dia diangkat menjadi guru.

Kurikulum yang berlaku di banyak sekolah sekarang biasa disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pembuatan KTSP (diharapkan) oleh guru berpedoman pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Setiap mata pelajaran sudah dibuatkan KD (kompetensi dasar)-nya. Tugas guru antara lain adalah menjabarkan KD tersebut ke dalam beberapa indikator. Karena KD ditetapkan oleh Depdiknas, berarti semua sekolah pada jenjang yang sama berpedoman pada KD yang sama pula.

29 Maret 2009

Pembinaan Budaya Lokal di Sekolah

Kemarin, Sabtu, 28 Maret 2009, saya bertemu dengan orang yang bekerja di Dinas Pariwisata, kebetulan saat itu ada juga pegawai Dinas Pendidikan. Saya langsung kemukakan pendapat yang intinya “sesudah ada festifal budaya daerah bagi siswa, sebaiknya lima peserta terbaik dibina melalui pemberian kesempatan untuk tampil di tempat wisata dan kepada mereka dan atau sekolah mereka diberi insentif untuk pelatihan dan pengembangan budaya daerah di sekolahnya”.

Saya juga kemukakan bahwa tempat wisata akan banyak dikunjungi banyak siswa dari sekolah yang sama dengan siswa sekolah yang tampil saat itu. Kalau pengunjung tempat wisata harus membayar, maka akan ada penambahan pendapatan daerah. Awalnya mungkin saja pengunjung hanya berasal dari daerah setempat, tetapi kalau promosinya baik, tentu wisatawan asing pun akan berkunjung ke tempat wisata tersebut.

27 Maret 2009

Promosi Sekolah

Kebetulan ... betul-betul suatu kebetulan. Seorang teman sore itu mengajak saya ikut dalam rapat sebuah sekolah kejuruan yang kalau diukur secara bisnis saat itu mengalami kerugian. Jumlah siswa di sekolah itu dari kelas satu sampai kelas tiga tidak lebih dari dua puluh orang. Padahal sepuluh tahun yang lalu jumlah siswa di sekolah itu lumayan banyak. Para lulusannya pun tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sore itu rapat membahas tentang penyebab turunnya peminat ke sekolah tersebut. Kata mereka, beberapa lembaga yang semula bersedia menampung latihan kerja para siswa sekolah tersebut sekarang tidak bersedia lagi. Selain itu rapat juga membahas cara menarik minat para lulusan SMP atau yang sederajat untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah ini.

Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dalam rapat tersebut adalah menyampaikan ucapan terimakasih di koran daerah kepada perusahaan-perusahaan yang menampung latihan kerja siswa. Ucapan terima kasih disampaikan segera setelah selesainya latihan kerja semua siswa. Cara ini diharapkan dapat menyenangkan perusahaan yang bersedia bekerjasama dengan sekolah, karena secara tidak langsung perusahaan dipromosikan oleh pihak sekolah. Keuntungan lainnya adalah masyarakat akan tahu bahwa sekolah telah bekerjasama dengan perusahaan dalam rangka mendidik para siswanya sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan di masyarakat terhadap sekolah.

26 Maret 2009

Peduli Pendidikan Gaya PKS

PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sejak tahun 2004 memang telah menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. Cara peduli seperti ini terutama terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Setiap semester PKS mendatangi sekolah-sekolah, kemudian menemui para siswa yang mendapat peringkat 1 sampai 10. Para siswa tersebut ditawari beasiswa dalam bentuk kursus Bahasa Inggris.

Kepedulian PKS terhadap dunia pendidikan lainnya adalah memberikan bingkisan kepada para guru berprestasi dan guru sekolah pinggiran pada setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional. Bagi masyarakat yang berharap agar dunia pendidikan memberikan bukti nyata bagi kemajuan bangsa ini, maka model yang telah dilakukan oleh PKS bisa dijadikan contoh. Kabupaten lain masih menunggu inisiatif PKS atau pihak lainnya untuk meniru keberuntungan Kota Banjarbaru.

25 Maret 2009

Atlet Sekolah

Mendekati atau setelah ada kejuaraan olahraga tingkat propinsi atau tingkat nasional atau bahkan tingkat regional dan internasional, selalu muncul harapan agar daerah selalu menyiapkan pembinaan atlet. Pembinaan atlet muda atau remaja diharapkan dilakukan oleh pihak sekolah. Sebab di sekolah biasanya selalu ada program pembinaan yang berlangsung hampir terus-menerus sepanjang tahun.

Kebijakan pemerintah daerah yang ada selama ini tidak mendorong kepada sekolah untuk melakukan pembinaan terhadap atlet remaja secara benar. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan pemberian anggaran pembinaan atlet bukan kepada pihak sekolah, tetapi anggaran diberikan kepada organisasi induk cabang olahraga daerah. Padahal organisasi induk cabang olahraga menggunakan anggaran pembinaan atlet muda dengan cara melaksanakan kompetisi.

Andaikan antara Dinas Pendidikan dengan KONI atau organisasi induk cabang olahraga dijalin kerjasama pembinaan atlet muda dengan pembagian tugas bahwa Dinas Pendidikan (dalam hal ini sekolah-sekolah) berperan menyediakan para atlet muda sedangkan KONI menyediakan pelatihnya.
Pihak Dinas Pendidikan akan sangat baik apabila mau menetapkan bahwa sekolah tertentu bertugas menampung atlet muda dari cabang olahraga tertentu pula. Satu sekolah bisa saja ditugaskan untuk menampung dan membina tidak lebih dari tiga cabang olahraga. Dengan cara ini diharapkan sekolah dapat berkoordinasi dengan organisasi induk cabang olahraga yang sesuai dan dana pembinaan yang disediakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah lebih bermanfaat.

22 Maret 2009

Jalan Pintas

Seminggu ini dan hari-hari ke depan para guru akan berhadapan dengan kegiatan-kegiatan yang sangat melelahkan. Mulai dari kegiatan ujian, ulangan kenaikan kelas, terus kegiatan penerimaan murid baru. Melelahkan ... karena para guru akan berhadapan dengan kemungkinan kritik yang disampaikan akibat hasil ujian dan ulangan kenaikan kelas yang tidak memuaskan dan desakan pihak yang baru mengaku sebagai keluarga guru agar anaknya bisa diterima di sekolah pilihan orang tua atau anaknya.

Salah satu yang bisa dianggap sebagai penyebab jeleknya hasil ujian adalah adanya tindakan sebagian sekolah dan para gurunya untuk melakukan jalan pintas dalam menetapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).Jalan pintas dilakukan karena untuk menetapkan KKM cukup ruwet, seperti membuat perhitungan per indikator, menilai kemampuan diri sendiri bagi guru, dan menilai kemampuan sekolah. Faktor lainnya adalah malasnya pengelola sekolah untuk memaksa para gurunya melakukan penetapan KKM dengan benar.

16 Maret 2009

Pembinaan Guru

Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, kami yang waktu itu bertugas sebagai guru, pernah ditugaskan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud) melakukan pendataan ke beberapa sekolah di seluruh kabupaten dalam rangka penyusunan kurikulum muatan lokal. Fasilitas yang kami bawa waktu itu di antaranya adalah tas kerja. Ketika berkunjung ke sekolah, kami berpakaian safari dan membawa tas kerja. Ternyata perilaku kami tersebut menimbulkan salah pengertian pada beberapa guru, sehingga mereka menyembunyikan diri ketika melihat kedatangan kami. Bahkan di antara mereka ada yang meninggalkan kelas yang menjadi tempat dia melaksanakan tugas mengajar saat itu.

Perilaku para guru yang menyembunyikan diri tersebut kami ketahui keesokan harinya ketika kami berkunjung kembali ke sekolah yang sama. Guru tersebut ternyata adalah teman kuliah kami. Si guru bercerita bahwa mereka bersembunyi karena mengira kami adalah pengawas sekolah yang datang dari ibukota propinsi. Kesimpulan yang disampaikan oleh si guru antara lain bahwa pengawas datang ke sekolah hanya untuk mencari kesalahan, bukan melakukan pembinaan.

Dari beberapa alasan yang dikemukakan guru terhadap pernyataannya tersebut ada yang mirip dengan pengalaman saya ketika bertugas sebagai guru. Ceritanya, saya melapor kepada kepala sekolah bahwa ada guru yang selalu tidak hadir ke sekolah ketika harus melaksanakan pembelajaran (tatap muka) di kelas, tetapi selalu hadir ke sekolah ketika tidak melaksanakan pembelajaran (tatap muka) di kelas. Ada pula guru yang menurut laporan siswa selalu marah-marah ketika mengajar di kelas apabila ada siswa yang bertanya. Setelah lebih dari dua minggu laporan saya tidak ditindaklanjuti oleh kepala sekolah, saya mengirim surat kepada Kepala Kanwil Depdikbud. Sekitar dua minggu berikutnya saya dipanggil oleh seseorang yang jabatannya dua tingkat di bawah Kepala Kanwil, yaitu Kepala Seksi (maaf, tidak perlu disebut). Sang Kasi (Kepala Seksi) marah-marah dan tidak mau terima semua alasan yang saya kemukakan. Minggu berikutnya, walaupun saya sudah berjanji dengan para siswa sejak awal semester bahwa minggu tersebut dijadwalkan ulangan bulanan, pengawas yang datang meminta (melalui wakil kepala sekolah) agar saya hari itu menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Reaksi saya waktu itu (setelah dua kali si wakil kepala sekolah bolak-balik menyampaikan alasan penolakan saya atas permintaan sang pengawas ditolak) adalah memarahi pengawas di hadapan beberapa guru.

Beberapa hari yang lalu isteri saya yang juga guru bercerita bahwa seorang temannya di sekolah tidak jadi datang ke sekolah setelah melihat kendaraan pengawas ada di halaman sekolahnya. Dia lakukan itu karena semua berkas untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran belum seluruhnya selesai disiapkan, sehingga dia takut bertemu sang pengawas.

Cerita di atas menggambarkan bahwa telah terjadi sikap tidak bersahabat dari guru terhadap pengawas sekolah. Penyebabnya bisa jadi karena perilaku pengawas yang belum mampu membangun hubungan saling percaya dan saling memerlukan dengan guru binaannya bersama kepala sekolahnya. Bisa pula karena keberhasilan kepala sekolah mensosialisasikan kepada para guru bahwa pengawas itu merupakan makhluk yang harus ditakuti. Tindakan pengawas dan kepala sekolah tersebut merupakan penghambat kemajuan pendidikan di sekolah.

Parkir Siswa

Teman kerja saya beberapa hari terakhir datang ke kantor lebih pagi dari hari-hari biasanya. Hal ini disebabkan ada kebijakan di SMP tempat anaknya belajar menerapkan aturan bahwa semua siswa tidak boleh membawa motor (kendaraan roda dua) ke sekolah. Pihak sekolah mengawasi para siswanya sampai ke jalan besar yang ada di dekat sekolah. Saya menyampaikan kepada teman tersebut, bahwa beberapa bulan yang lalu bahkan ada SMP yang berlokasi di samping jalan besar meminta bantuan pihak polisi untuk merazia siswanya yang membawa motor ke sekolah.

Tindakan sekolah setingkat SMP yang melarang siswanya membawa motor merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kenakalan remaja. Sebab, siswa SMP jelas tidak akan memperoleh ijin untuk memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi). Jadi kalau ada siswa SMP yang mengendarai motor, berarti ada yang salah dalam penerapan hukum yang berlaku. Selain itu, siswa SMP secara psikologis memiliki dorongan yang sangat kuat untuk diakui oleh warga sekitarnya. Jadi ketika dia mengendarai motor sering memperlihatkan kemampuannya untuk memacu motornya walau di daerah yang dipadati arus lalu lintas.

Sisi positif dari banyaknya siswa mengendarai motor adalah pengeluaran orang tua siswa untuk biaya transportasi anaknya tidak hilang karena diubah jadi kredit pemilikan motor. Bagi pihak sekolah sebenarnya bisa menambah pendapatan sekolah dengan cara menyediakan tempat parkir siswa. Penghasilan dari tempat parkir bisa dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki halaman sekolah dan juga membayar satpam sekolah.

10 Maret 2009

Guru sebagai Pengawas

Ketentuan yang berhubungan dengan para pengawas pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tercantum pada:

Pasal 15 ayat (4); Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan tetap diberi tunjangan profesi Guru apabila yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas sebagai pendidik yang: a. berpengalaman sebagai Guru sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau kepala sekolah sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun; b. memenuhi persyaratan akademik sebagai Guru sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. memiliki Sertifikat Pendidik; dan d. melakukan tugas pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan tugas pengawasan.

Pasal 54 ayat (8); Beban kerja pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran dalam melakukan tugas pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan pengawasan yang ekuivalen dengan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam pembelajaran tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

Pasal 54 ayat (9); Ketentuan lebih lanjut tentang beban kerja pengawas yang ekuivalen dengan 24 (dua puluh empat) jam tatap sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 67; Pengawas satuan pendidikan selain Guru yang diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberi kesempatan dalam waktu 5 (lima) tahun untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.

08 Maret 2009

Bukan 24 Jam Tugas Mengajar

Pemahaman sebagian pejabat di dinas pendidikan terhadap beban kerja guru yang sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka disamakan dengan jumlah tugas mengajar guru sebagaimana Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang Pembagian Tugas Guru merupakan penafsiran yang tidak memperhatikan maksud keseluruhan dari Pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Pasal 52 PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Saking semangatnya pejabat ingin mengontrol guru yang telah bersertifikat, maka tiap sekolah diminta untuk menyerahkan SK Pembagian Tugas Mengajar Guru beserta jadwal pelajaran.

Penafsiran para pejabat sebagaimana disebutkan di atas hanya mengacu pada ayat 2 dari Pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005 dan ayat 2 Pasal 52 PP Nomor 74 Tahun 2008. Padahal ayat 2 tersebut merupakan penjelasan dari ayat 1. Jadi penafsiran terhadap beban kerja guru harusnya dihubungkan keseluruhan ayat dari masing-masing pasal tentang beban kerja tersebut. Berikut ini adalah bunyi dari setiap ayat pada Pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005.
1. Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta
melaksanakan tugas tambahan.
2. Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan
sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam
satu minggu.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Kemudian bunyi Pasal 52 PP Nomor 74 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :
(1) Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok:
a. merencanakan pembelajaran;
b. melaksanakan pembelajaran;
c. menilai hasil pembelajaran;
d. membimbing dan melatih peserta didik; dan
e. melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok
sesuai dengan beban kerja Guru.
(2) Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi 24
(dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki
izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan
paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) jam
tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai
Guru Tetap.

05 Maret 2009

Tunjangan Profesi Guru

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 15 menjelaskan tentang hak seorang guru untuk memperoleh tunjangan profesi sebagaimana berikut ini :

(1) Tunjangan profesi diberikan kepada Guru yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. memiliki satu atau lebih Sertifikat Pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi Guru oleh Departemen;
  2. memenuhi beban kerja sebagai Guru;
  3. mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimilikinya;
  4. terdaftar pada Departemen sebagai Guru Tetap;
  5. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; dan
  6. tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.

(2) Seorang Guru berhak mendapat satu tunjangan profesi terlepas dari banyaknya Sertifikat Pendidik yang dimilikinya dan banyaknya satuan pendidikan atau kelas yang memanfaatkan jasanya sebagai Guru.

(3) Guru pemegang sertifikat pendidik yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf c berhak memperoleh tunjangan profesi jika mendapat tugas tambahan sebagai:

  1. kepala satuan pendidikan dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja kepala satuan pendidikan;
  2. wakil kepala satuan pendidikan dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja wakil kepala satuan pendidikan;
  3. ketua program keahlian satuan pendidikan dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja ketua program keahlian satuan pendidikan;
  4. kepala perpustakaan satuan pendidikan dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja kepala perpustakaan satuan pendidikan;
  5. kepala laboratoriun, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja kepala laboratoriun, bengkel, atau unit produksi satuan produksi;
  6. guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja guru bimbingan dan konseling atau konselor; atau
  7. pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu dengan beban kerja sesuai dengan beban kerja pembimbing khusus pada satuan pendidikan;

(4) Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan tetap diberi tunjangan profesi Guru apabila yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas sebagai pendidik yang:

  1. berpengalaman sebagai Guru sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun atau kepala sekolah sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun;
  2. memenuhi persyaratan akademik sebagai Guru sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  3. memiliki Sertifikat Pendidik; dan
  4. melakukan tugas pembimbingan dan pelatihan profesional Guru dan tugas pengawasan.

(5) Tunjangan profesi diberikan terhitung mulai awal tahun anggaran berikut setelah yang bersangkutan mendapatkan nomor registrasi Guru dari Departemen.

(6) Nomor registrasi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat unik dan diperoleh setelah Guruyang bersangkutan memenuhi Kualifikasi Akademik dan memperoleh Sertifikat Pendidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.