16 Mei 2009

Sertifikasi Pengawas (1)

Lama nian aku tak menghiraukan blog yang kubuat. Penyebab tindakan ini karena aku disibukkan oleh keinginan memenuhi persyaratan yang dituntut agar bisa disertakan dalam sertifikasi. Semula aku diberitahu dalam forum rapat bahwa kami akan disertifikasi, tetapi yang boleh ikut sertifikasi itu adalah orang yang namanya tercantum di pengumuman. Setelah melihat papan pengumuman, alhamdulillah namaku tercantum di urutan kedua dari bawah. Ada memang rekan seprofesiku yang tidak disertakan.

Semula aku tidak begitu berharap diikutkan sertifikasi, sebab selain Allah SWT telah memberi rezeki di luar pekerjaanku yang, menurut ukuranku, lebih banyak dibanding gajiku sebagai PNS, juga aku sering tidak diusulkan oleh rekan-rekanku untuk ikut diklat ketika harusnya aku ikut. Bahkan pernah ada pimpro di propinsi yang memberitahukan bahwa tidak diikutkannya aku karena pimpinanku beralasan ke pompro tersebut “aku sedang sibuk.” Padahal selama pelaksanaan diklat mereka, aku tidak memiliki kesibukan apa pun. Diklat tersebut bagi aku sangat penting untuk diikuti, karena dengan ikut diklat tersebut aku menjadi resmi dengan profesiku ini. Kalau dalam dunia birokrasi sering diistilahkan dengan dukdik (duduk dulu baru kemudian dididik).

Aku sering menegur mereka dengan bahasa agama, misalnya: (pertama) Rasulullah ketika sedang berjalan melihat ada duri di jalan, maka beliau akan mengambil duri itu dan membuangnya ke pinggir jalan. Maknanya, kataku, kalau ingin meniru Rasulullah, maka berilah kelapangan jalan (karir) bagi rekan kita, tapi kita akan berdosa ketika membuat penghalang di jalan yang akan dilalui orang. Kedua, kikir itu jangan hanya ditafsirkan pada harta saja, tetapi ada juga kikir dalam perbuatan. Orang bisa dianggap kikir apabila tidak mau membantu orang lain yang sedang memerlukan padahal ia mampu membantunya.

Setelah dua tahun menjalani profesiku dengan perlakuan, menurut ukuranku, tidak adil dari beberapa rekan dan bosku, maka dalam diriku mulai muncul nafsu kebinatanganku. Biasanya proses kerja nafsuku yang diperlihatkan dalam perilakuku adalah diam – menegur – tidak berpartisifasi – menuntut – menganiaya. Bulan Maret yang lalu, setelah membaca PP 74 Tahun 2009, aku tahu tentang aturan bahwa profesiku akan disertifikasi, sehingga aku bicarakan pada mereka tentang berita baik itu dan meyakinkan rekan-rekan bahwa semuanya harus diikutkan. Bosku bilang tidak semuanya bisa diikutkan, lalu kujawab bahwa semua orang sanggup melanggar aturan, untungnya bosku diam. Bulan April 2009 saya diikutkan diklat yang dalam isi surat panggilan memang merupakan hakku untuk menjadi peserta.

Selesai diklat setiap peserta diberi masing-masing satu CD yang berisi segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas profesi kami, termasuk yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi. Sekitar empat hari yang lalu aku berhasil men-download Buku 8 di internet yang isinya berupa pedoman membuat portofolio untuk sertifikasi. Digabungkan dengan CD dari diklat, hingga saat ini saya sidah berhasil merancang RKA dan RKM serta program lainnya.

Alhamdulillah, Allah SWT telah memberikan jalan yang lebih mudah kepadaku, walaupun batas kesabaranku hampir habis.

15 Mei 2009

Martabat Guru

Berkaitan dengan hiruk pikuk pemberitaan Ujian Nasional (UN) yang baru lalu, ternyata ada tindakan dari pihak sekolah yang tidak terpuji. Hari ini di kolom surat pembaca harian Kompas misalnya, ada orang tua siswa yang menceritakan bahwa anaknya menangis karena kesulitan menjawab soal Matematika, sedangkan teman-teman si anak mendapat kemudahan karena dibantu kunci jawaban. Selain itu di halaman Humaniora diberitakan bahwa berita bahwa Wapres Yusuf Kalla berkunjung ke Kantor PB PGRI. Dalam pertemuan tersebut, Ketua Umum PB PGRI, Sulistyo menyampaikan keluhan bahwa : ”Dalam penyelenggaraan UN, guru ingin menegakkan mutu dengan cara yang elegan dan mengedepankan prinsip-prinsip serta etika pendidikan. Namun, di sisi lain guru banyak dikooptasi kepentingan pemegang kekuasaan, seperti kepala dinas dan kepala daerah yang berambisi agar anak-anak lulus dan tidak mempermalukan daerah.”

Kalau benar apa yang dikemukakan dalam surat pembaca dan Ketua Umum PB PGRI, maka yang paling dirugikan adalah bangsa Indonesia. Sebab dunia pendidikan telah mengajarkan, atau bahkan membiasakan, tindakan melanggar aturan kepada generasi muda bangsa Indonesia. Perlu diingatkan bahwa para siswa yang menjadi peserta UN merupakan generasi muda calon pemimpin negara RI di masa yang akan datang. Karena generasi muda sudah terbiasa melihat atau mengalami perlakuan melanggar aturan, maka sebagian besar dari mereka akan meneruskannya di masa mendatang, sedangkan sebagian dari orang (siswa) yang semula berusaha berbuat sesuai aturan akan prustrasi dan akan ikut arus kelompok pelanggar aturan. Selanjutnya, di masa mendatang negara ini akan dikuasai atau dipimpin oleh kelompok pelanggar aturan. Akibatnya harap ditebak sendiri.

Pemerintah sebenarnya sudah berusaha mengantisipasi keburukan yang mungkin muncul di masa mendatang, salah satu caranya adalah dengan membuat kebijakan terkait Sertifikasi Guru. Dengan kebijakan tersebut diharapkan guru dapat menahan tekanan sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Umum PB PGRI dan atau menjual kunci jawaban soal-soal UN. Penghasilan guru yang tinggi diharapkan dapat menghidupkan semangat menjaga dan meningkatkan martabat diri mereka. Kalau dengan penghasilan yang tinggi itu para guru masih saja tidak mampu menahan tekanan yang bertentangan dengan nurani seorang pendidik, maka ada maksud lain dalam pikiran dan perasaan para pendidik.

08 Mei 2009

Pelajaran Bahasa Inggris

Pertanyaan yang sering penulis lontarkan kepada guru Bahasa Inggris di sekolah adalah : “Berapa persen dari siswa Anda yang bisa berkomunikasi bahasa Inggris apabila mereka tidak ikut kursus di lembaga bimbingan, setelah mereka belajar di sekolah selama tiga tahun?” Bagi guru yang mengajar di SMA, waktu belajarnya menjadi enam tahun. Ternyata semuanya tidak bisa menjamin, walaupun persentasenya hanya dibatasi sampai sepuluh persen. Kemudian penulis menceritakan kepada guru tersebut pengalaman ketika berkomunikasi dengan pegawai perusahaan yang biasa melakukan rekrutmen pegawai. Menurut pegawai perusahaan tersebut bahwa tes wawancara dalam bahasa Inggris yang biasa mereka lakukan hanyalah berupa pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari pelamar kerja. Apabila pelamar kerja mampu berbahasa Inggris (dengan baik), maka nilai yang diperoleh akan tinggi dan besar kemungkinan lamarannya diterima.

Sekolah setingkat SMP dan SMA itu tidak hanya berada di ibukota kabupaten, tetapi sudah ada di pelosok desa. Bahkan Bupati Kotabaru sekarang ini sedang giat membangun SMA sampai di tingkat kecamatan. Para siswa yang sekolah di desa atau kecamatan sebagian besar tidak berminat meneruskan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi, apalagi sampai ke luar negeri. Bahkan masih ada kepala sekolah yang mengungkapkan bahwa apabila musim panen padi atau ikan tiba, banyak siswa yang tidak turun ke sekolah. Kepada mereka tentu akan lebih bermanfaat apabila pelajaran bahasa Inggris lebih dititikberatkan pada kemampuan berbicara. Hal ini tidak menyimpang dari tujuan belajar bahasa Inggris, yaitu mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan dan tulis untuk mencapai tingkat literasi informational.

Konon, setiap guru hendaknya melaksanakan kegiatan pembelajaran yang nyaman, tetapi dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah lebih banyak menuntut perhatian yang lebih pada tata bahasa karena (menurut pembuat kurikulum bahasa Inggris) kelalaian bertata bahasa dapat menimbulkan banyak miskomunikasi yang barangkali tidak berdampak serius dalam percakapan santai, tetapi bisa berdampak sangat serius bahkan berakibat fatal dalam konteks formal atau akademis. Akibatnya pada umumnya siswa menjadi tidak nyaman ketika belajar bahasa Inggris, ini dapat dilihat ketika kepada siswa ditanyakan mata pelajaran yang disukai, maka bahasa Inggris pada umumnya berada kelompok tengah dan bahkan bawah dari semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Perhatian yang lebih pada tata bahasa dalam pelajaran bahasa Inggris sebaiknya dilakukan pada sekolah-sekolah bertaraf internasional dan atau sekolah berstandar nasional.

Calon Guru

Saya pernah menjadi guru pamong, yaitu guru di sekolah yang mendapat tugas membimbing mahasiswa yang melaksanakan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan). Ketika itu ada mahasiswa yang akan masuk kelas untuk melaksanakan tugas PPL-nya berpakaian tidak rapi, seperti lengan baju yang digulung. Karena sudah dua kali ditegur agar tidak mengulang perbuatannya, dan teguran tidak dihiraukan, maka dengan terpaksa si mahasiswa tidak diluluskan. Itu kejadian ditahun 1990-an. Di tahun 2006, saya dapat tugas lagi membimbing mahasiswa yang melaksanakan PPL, ternyata pakaian mereka semua sangat rapi, tetapi tidak disiplin dan tidak memiliki bekal pengetahuan dasar untuk menjadi guru. Setelah dijelaskan cara menjabarkan kompetensi dasar (KD), mereka manggut-manggut dan menyatakan mengerti atas penjelasan tersebut. Kemudian dibuatkan contoh format silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk memindahkan hasil jabaran tersebut. Mereka kembali menyatakan mengerti. Seminggu berikutnya, dengan keterlambatan beberapa hari sebagaimana kesepakatan kami, mereka datang tanpa membawa model silabus dan RPP sebagaimana tugas yang harus mereka kerjakan.

Banyak mahasiswa PPL Tahap II yang datang ke sekolah tempat praktiknya langsung meminjam silabus dan RPP milik guru pamong. Kata mereka, tindakan tersebut disarankan oleh dosen pembimbing mereka. Idealnya, seorang guru akan lebih mudah dan lebih nyaman melaksanakan kegiatan pembelajaran apabila RPP untuk kegiatan proses pembelajaran merupakan buatan sendiri. Kadang-kadang, adanya mahasiswa PPL Tahap II itu merugikan bagi guru pamong, karena terhambatnya laju pencapaian target pembelajaran yang telah dirancang diawal semester dan atau diawal tahun pelajaran oleh guru pamong. Akan lebih parah lagi kerugiannya apabila si guru pamong mendapat tugas mengajar di kelas tiga.

PPL biasanya dilaksanakan sebanyak dua tahap. PPL Tahap I dan PPL Tahap II dilaksanakan berbeda semester. Lamanya PPL Tahap I biasanya seminggu, sedangkan PPL Tahap II lamanya sekitar dua bulan. Selama mengikuti PPL Tahap I para mahasiswa harus berada di sekolah tempat praktik sama dengan waktu belajar siswa. Kegiatan utama mereka selama di sekolah adalah meminjam dan mengcopi silabus dan RPP milik guru pamong serta beberapa kali menyaksikan cara guru pamong melaksanakan proses pembelajaran. Dengan anggapan bahwa guru setiap tahun menyempurnakan silabus dan membuat kembali RPP, maka para mahasiswa PPL Tahap II meminjam kembali silabus dan RPP buatan guru pamongnya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan salah paham pada guru pamong, karena dapat memunculkan anggapan bahwa mereka sedang disupervisi oleh mahasiswa PPL.

Di perguruan tinggi yang mempersiapkan calon guru tentu ada mata kuliah yang mempelajari tentang kurikulum. Akan sangat baik apabila dalam mata kuliah kurikulum tersebut dimasukkan materi yang berhubungan dengan penjabaran kurikulum. Dan akan semakin baik lagi apabila materi penjabaran kurikulum itu disesuaikan dengan yang sedang berlaku di sekolah, bukan yang berlaku di perguruan tinggi. Harapan lainnya, akan lebih bermanfaat bagi para mahasiswa PPL Tahap I apabila tiga hari pertama ketika mereka harus berada di sekolah praktik, mereka dilatih oleh pihak sekolah (wakasek kurikulum) membuat silabus dan RPP. Hasil latihan akan diteruskan oleh para mahasiswa di kampus masing-masing, selanjutnya diharapkan ketika mereka melakukan kegiatan PPL Tahap II di semester berikutnya, mereka sudah siap dengan bahan pelajaran untuk siswa di sekolah tempat praktik.

07 Mei 2009

Upah Minimum Guru

Judul tulisan ini mirip dengan judul berita yang dimuat koran Kompas yang terbit hari Kamis, 7 Mei 2009 halaman 12. Isi tulisan sepertinya nyambung dengan pembicaraan kami terhadap beberapa kepala sekolah swasta. Setelah pagi tadi kami baca tulisan tersebut, beberapa kepala sekolah yang berbeda yayasan kami beritahu agar mereka membaca berita dari Kompas tersebut dan selanjutnya kunjungi mereka ke sekolahnya. Maksud kunjungan adalah untuk tukar pendapat agar ketika RPP (Rencana Peraturan Pemerintah) Guru Non-PNS diberlakukan pihak sekolah dan atau yayasan dengan mudah menerapkannya.

Niat pemerintah membuat standar upah (gaji) guru non-PNS sangat baik bagi para guru, tetapi bagi pihak pemilik dan atau pengelola sekolah menjadi tantangan berat. Sebab bagi sekolah yang jumlah siswanya sedikit bisa jadi akan bubar serta bagi sekolah yang berstatus negeri akan mengalami kesulitan melaksanakan pelayanan pembelajaran bagi para siswanya. Ketika RPP Guru Non-PNS disahkan menjadi PP (Peraturan Pemerintah), sekolah negeri akan mengalami kesulitan memenuhi kekurangan guru karena pemerintah daerahnya sedang sibuk berkampanye dan atau melaksanakan program sekolah gratis.

Idealnya sebuah yayasan atau lembaga pendidikan non-pemerintah yang berani membuka sekolah sekurang-kurangnya sudah memperhitungkan biaya pembangunan, pemeliharaan, dan penyelenggaraan sekolah. Sebab, biasanya ketika pengurus yayasan mengajukan ijin pendirian sekolah selalu ada kalimat yang pengertiannya “ingin membantu pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak bangsa.” Membantu pemerintah tentu sangat berbeda pengertiannya dengan membebani pemerintah. Jadi sangatlah tidak elok apabila ada sekolah swasta yang selalu mengeluh akan kurangnya perhatian pemerintah.

Sebelum disahkannya RPP Guru Non-PNS, sebaiknya pihak sekolah dan atau yayasan pemilik sekolah mempersiapkan strategi untuk meningkatkan mutu sekolah. Jadi ketika RPP jadi diberlakukan yang berarti kesejahteraan guru membaik, maka pihak sekolah harus mengimbanginya dengan strategi agar gurunya, baik sadar maupun tidak sadar, termotivasi untuk meningkatkan mutu hasil pembelajarannya.

Dua tahun terakhir penulis kebetulan lebih banyak mengamati dua grup sekolah di Banjarmasin yang dikelola oleh dua yayasan yang berbeda. Ada beberapa saran yang pernah disampaikan kepada pihak sekolah dan atau pihak yayasan. Pertama, ketika kepada salah seorang pengurus yayasan disarankan agar pihak yayasan mengelola penggajian kepada para guru pengajar di sekolah-sekolah dengan alasan untuk mengurangi beban kerja dan pikiran para kepala sekolah serta agar dapat membantu menghidupi sekolah yang sedikit jumlah siswanya, pihak yayasan mengungkapkan bahwa cara itu tidak sesuai dengan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yayasan. Kemudian ketika kita kemukakan bahwa kalau masih mengikuti AD/ART berarti akan ada beberapa sekolah dari yayasan tersebut yang akan bubar, pihak oknum pengurus yayasan tersebut dengan enteng menjawab bahwa bubarnya sekolah bukan menjadi tanggung jawab yayasan, tetapi tanggung jawab pengelola sekolah. Dari komunikasi sebagaimana diungkapkan di atas, maka karena AD/ART yayasan tidak selevel dengan Al-Qur’an, maka tentu AD/ART bisa diubah. UUD RI 1945 saja bisa diamandemen, apalah artinya AD/ART yang tentu saja bisa diubah asalkan dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan hidup sekolah yang dipayungi oleh yayasan.

Kedua, kepada beberapa sekolah yang sama yang bernaung di bawah yayasan yang sama pula, pernah disarankan bahwa agar mereka mau saling bantu sambil membuat standar nilai hasil belajar para siswanya. Caranya, misalnya dengan melaksanakan penilaian hasil belajar bersama sehingga sekolah yang jumlah siswanya sedikit akan terbantu dalam hal pembiayaan penilaian hasil belajar tanpa membebani pengeluaran sekolah yang jumlah siswanya lebih banyak. Keuntungan lain yang bisa didapat adalah sekolah yang sama dalam satu yayasan dapat membuat standar penilaian hasil belajar sendiri.

Sedangkan untuk mengantisipasi pengesahan sampai pemberlakuan RPP Guru Non-PNS kepada beberapa kepala sekolah yang penulis temui hari ini adalah (1) sebaiknya dirancang bentuk kontrak kerja guru yang nantinya akan diangkat yayasan sehingga memperoleh penghasilan sekurang-kurangnya sama dengan UMR (Upah Minimum Regional). Rancangan kontrak kerja itu sebaiknya berisi sekurang-kurangnya tentang jumlah jam minimal, administrasi pembelajaran yang harus dibuat guru, dan jaminan mutu yang disanggupi oleh guru. (2) Guru yang diangkat oleh yayasan tidak harus bertugas pada satu sekolah, tetapi dapat bertugas pada beberapa sekolah sejenis yang dimiliki oleh yayasan. Hal ini dilakukan agar guru dalam mengajar terfokus pada satu mata pelajaran dan satu tingkatan kelas saja, sehingga penguasaan guru terhadap materi pelajaran menjadi lebih bagus.

Ujian Nasional (4)

Perlu Pembiasaan

Malam Ahad yang lalu saya bertemu dengan orang yang punya perhatian lebih terhadap dunia pendidikan. Dia cerita bahwa ada siswa SMP dan SMA yang menyatakan bahwa soal UN yang mereka hadapi lebih mudah dibandingkan soal Ujicoba UN yang pernah mereka hadapi. Penyedia soal Ujicoba UN, katanya, berasal dari tiga pihak, yaitu Disdik Propinsi, Lembaga Bimbingan yang bekerjasama dengan K3S, dan para guru di sekolah. Saya bilang pada teman itu bahwa hari pertama UN jam 08.30 soal Bahasa Indonesia sudah diketahui para peserta UN, betulkah? Semula teman itu diam, kemudian tersenyum dan kemudian kami membicarakan banyaknya kepala sekolah di Sumatera yang ditangkap polisi karena tertangkap membocorkan soal UN. Hal menarik dari pembicaraan kami malam itu adalah bahwa terjadinya upaya membocorkan atau mencari bocoran soal UN antara lain disebabkan siswa kurang banyak latihan mengerjakan soal dengan perlakuan seperti UN.

Bentuk soal yang dikerjakan oleh para peserta UN adalah pilihan ganda. Sedangkan para siswa yang kemudian menjadi peserta UN terbiasa mengerjakan soal dalam bentuk uraian. Bentuk soal uraian tersebut tidak hanya dikerjakan para siswa pada waktu mengikuti ulangan harian, tetapi juga sampai pada saat pelaksanaan ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas. Sewaktu ulangan semester dan atau ulangan kenaikan kelas ada juga guru sekolah yang membuat soal dalam dua bentuk, dan pada umumnya soal uraian berjumlah masing-masing lima item, sedangkan soal pilihan ganda bervariasi jumlahnya. Ada sekolah yang menetapkan jumlah soal pilihan gandanya 20 item, ada yang 40 item, dan yang tidak mencampurnya dengan soal bentuk uraian maka soal pilihan gandanya antara 50 sampai 60 item.

Salah satu pekerjaan yang saya geluti sekarang ini adalah bidang percetakan dengan pelanggan sejumlah sekolah yang tersebar di Banjarmasin sampai ke kabupaten lainnya di Kalimantan Selatan. Dari beberapa pelanggan ini, ternyata sekolah yang persentase jumlah peserta UN-nya lulus sangat besar adalah sekolah-sekolah yang membiasakan siswanya ketika ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas selalu mengerjakan soal berbentuk pilihan ganda dengan jumlah antara 50 sampai 60 item dalam waktu 90 menit. Soal-soal pilihan ganda yang dipakai untuk ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas tersebut sebagiannya merupakan soal yang mirip dengan soal UN tahun-tahun sebelumnya.

Selain membiasakan siswa mengerjakan soal pilihan ganda dalam setiap ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas, tentu akan semakin baik apabila sekolah juga menggunakan soal bukan buatan gurunya. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan bagi guru untuk koreksi diri. Sebab, apabila gurunya sendiri saja yang membuat soal untuk ulangan siswa, maka ada kebiasaan buruk guru yang hanya memberikan soal ulangan kepada siswanya sebatas materi pelajaran yang telah dia berikan. Sedangkan apabila soal dibuat oleh guru dari sekolah lain, maka ada kemungkinan terdapat materi pelajaran penting yang belum diketahui guru, sehingga nantinya si guru diharapkan mau belajar kembali tentang materi yang belum diketahuinya tersebut. Selanjutnya, guru yang mau belajar kembali atau lebih memperdalam materi yang harus disampaikannya ke siswa akan memberi keuntungan kepada siswanya.

06 Mei 2009

Ujian Nasional (3)

Otonomi di Sekolah

Mulai tahun 2000-an ada kebijakan Departemen Pendidikan Nasional RI yang memberi kewenangan lebih luas kepada pengelolan satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Kewenangan dimaksud biasanya disebut sebagai otonomi sekolah dan atau otonomi guru. Namun, dengan pemahaman otonomi sebagai mengelola dan menentukan sendiri mengakibatkan munculnya keraguan terhadap keberhasilan peningkatan mutu yang dicapai. Keraguan tersebut dapat dilihat dari adanya tindakan tidak terpuji pihak sekolah dan atau guru yang berusaha membantu siswa menjawab soal-soal UN.

Otonomi ternyata menumbuhkan arogansi. Banyak sekolah dengan alasan otonomi tidak mau lagi melakukan kerjasama dengan sekolah sejenis lainnya. Begitu pula dengan para gurunya, mereka yang bertugas di sekolah (merasa) hebat tidak mau lagi aktif di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Alasan mereka karena guru dan pengelola sekolah memiliki kebebasan sendiri dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Bahkan kadang-kadang para pengelola sekolah lupa bahwa aturan yang berada di atas ketentuan tentang otonomi sekolah, yaitu Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Tetapi dalam kenyataan, banyak para guru yang bertugas di sekolah (merasa) hebat, ketika membuat penjabaran terhadap Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam bentuk silabus, mereka melakukan copy paste terhadap contoh yang telah ada.

Arogansi guru dan para pengelola sekolah merupakan penyebab para siswa di sekolah seperti katak dalam tempurung. Para siswa terkungkung dalam kebijakan sekolah yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Bahwa selama tiga tahun belajar di sekolah para siswa menerima pelajaran sampai penilaian hasil belajar hanya berasal dari gurunya saja. Ketika para siswa tersebut mengikuti UN, tentu akan sangat banyak dari mereka yang terkejut karena sangat berbedanya antara soal yang biasa dibuat oleh gurunya dengan soal dalam UN.

Pengalaman siswa terhadap dunia luar sekolahnya pada umumnya terjadi pada semester akhir mendekati UN dalam bentuk ujicoba atau try out UN. Ada sekolah yang merencanakan kegiatan ujicoba UN selama satu semester akhir tersebut sebanyak 5 (lima) kali, tetapi ternyata yang terlaksana hanya paling banyak 3 (tiga) kali saja. Penyebabnya (1) ujicoba tidak dirancang sejak awal tahun pelajaran, terutama yang berhubungan dengan perangkatnya; (2) dana yang dimiliki oleh sekolah sangat terbatas; dan (3) waktu untuk melaksanakan ujicoba pada semester akhir tidak memungkinkan, karena biasanya para guru setelah ujicoba akan membahas soal yang diujicobakan bersama para siswanya.

Ujian Nasional (2)

Standar Kelulusan

Mulai bulan Desember sampai Maret ditahun berikutnya dunia pendidikan di Indonesia selalu diramaikan oleh pendapat yang berhubungan dengan pro dan kontra terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) serta para pendidik biasanya mengungkapkan keberatannya pada standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah. Pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN akan dibahas pada bagian lain. Bagian ini akan mempertanyakan tentang sikap para pendidik yang keberatan terhadap batas lulus yang telah ditentukan oleh pemerintah. Para pendidik yang keberatan tersebut sepertinya lupa dengan sikap mereka sendiri ketika membuat ketentuan yang berhubungan dengan kenaikan kelas para siswanya.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada ketentuan bahwa setiap guru mata pelajaran menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa mengikuti proses pembelajaran untuk masa satu tahun pelajaran. Pada umumnya KKM yang ditentukan oleh setiap guru mata pelajaran tidak kurang dari 6,00. Bahkan ada guru mata pelajaran yang menetapkan KKM-nya sampai dengan 7,50. KKM merupakan standar keberhasilan belajar yang harus dicapai oleh siswa. Apabila nilai ulangan yang diperoleh siswa belum mencapai KKM, maka siswa dianggap belum berhasil menyerap materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Standar kelulusan bagi peserta UN setiap tahun mengalami kenaikan, dalam pelaksanaan tahun 2009 menjadi rata-rata 5,50. Ketentuan ini mengacu pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN. Keputusan BSNP tentang POS UN untuk SMP dan yang sederajat, Sekolah Luar Biasa (SMP dan SMA) serta Sekolah Menengah Kejuruan tertuang dalam keputusan bernomor 1513/BSNP/XII/2008, sedangkan untuk SMA/MA tertuang dalam keputusan bernomor 1512/BSNP/XII/2008. Pada masing-masing keputusan itu juga dikemukakan bahwa setiap Kabupaten/Kota dan atau satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dianggap bahwa standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak BSNP paling tidak berada pada standar rata-rata yang memungkinkan dicapai oleh pada umumnya satuan pendidikan di Indonesia.

Membandingkan antara KKM yang telah ditetapkan oleh guru dengan standar kelulusan yang ditetapkan oleh BSNP, maka idealnya tidak satu pun guru yang keberatan dengan standar kelulusan yang ditetapkan BSNP. Sebab standar kelulusan (keberhasilan menyerap bahan ajar) yang ditetapkan oleh pihak BSNP berada di bawah standar keberhasilan yang sudah ditetapkan oleh para guru dan atau satuan pendidikan. Keberatan oleh pihak guru dan atau satuan pendidikan merupakan gambaran bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di suatu satuan pendidikan dan atau oleh guru. Kesalahan tersebut menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi mereka, dan selanjutnya berakibat pada terjadinya tindakan menyimpang dalam pelaksanaan UN.

05 Mei 2009

Ujian Nasional (1)

Rawan Kebocoran

Setiap tahun, antara bulan April sampai Mei, dunia pendidikan selalu diramaikan dengan pemberitaan tentang terjadinya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang dimaksud adalah tindakan para siswa peserta UN (Ujian Nasional) yang lebih percaya dengan bantuan pihak lain melalui berbagai cara dalam menjawab soal. Pada umumnya para pembantu penjawab soal bagi siswa itu diperkirakan datang dari pihak sekolah atas prakarsa pimpinan sekolah atau guru secara perorangan.

Terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan UN dalam bentuk pembocoran atau bantuan menjawab soal memang tidak selalu datang dari pihak sekolah atau guru. Tetapi apabila diperhatikan dari proses pendistribusian soal yang begitu ketat, maka kebocoran tidak mungkin dilakukan oleh pihak luar lingkungan sekolah. Di Banjarmasin atau daerah lain yang sama cara pendistribusiannya, tahap distribusi yang paling memungkinkan untuk terjadinya penyimpangan ada pada saat soal didistribusikan dari Polsek ke pihak sekolah. Pada tahap ini terjadi penumpukan jumlah orang yang cukup banyak dengan maksud mengambil soal dan waktu pengambilan soal yang singkat.

Saat distribusi ke pihak sekolah, kadang-kadang pihak pembagi (pegawai dinas pendidikan) kurang memperhatikan soal yang akan dibagikan pada hari berikutnya hingga hari terakhir. Perhatian pihak pembagi lebih fokus pada soal-soal yang akan dibagikan untuk hari yang bersangkutan. Ketika itu, pihak sekolah yang berniat melakukan penyimpangan memperoleh peluang untuk mengambil amplop soal hari berikutnya hingga hari terakhir. Amplop soal yang diambil tentunya yang jumlah isinya sedikit (biasa diistilahkan amplop kecil) agar tidak terlalu mencolok ketika dibawa pergi.