06 Mei 2009

Ujian Nasional (3)

Otonomi di Sekolah

Mulai tahun 2000-an ada kebijakan Departemen Pendidikan Nasional RI yang memberi kewenangan lebih luas kepada pengelolan satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Kewenangan dimaksud biasanya disebut sebagai otonomi sekolah dan atau otonomi guru. Namun, dengan pemahaman otonomi sebagai mengelola dan menentukan sendiri mengakibatkan munculnya keraguan terhadap keberhasilan peningkatan mutu yang dicapai. Keraguan tersebut dapat dilihat dari adanya tindakan tidak terpuji pihak sekolah dan atau guru yang berusaha membantu siswa menjawab soal-soal UN.

Otonomi ternyata menumbuhkan arogansi. Banyak sekolah dengan alasan otonomi tidak mau lagi melakukan kerjasama dengan sekolah sejenis lainnya. Begitu pula dengan para gurunya, mereka yang bertugas di sekolah (merasa) hebat tidak mau lagi aktif di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Alasan mereka karena guru dan pengelola sekolah memiliki kebebasan sendiri dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Bahkan kadang-kadang para pengelola sekolah lupa bahwa aturan yang berada di atas ketentuan tentang otonomi sekolah, yaitu Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Tetapi dalam kenyataan, banyak para guru yang bertugas di sekolah (merasa) hebat, ketika membuat penjabaran terhadap Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam bentuk silabus, mereka melakukan copy paste terhadap contoh yang telah ada.

Arogansi guru dan para pengelola sekolah merupakan penyebab para siswa di sekolah seperti katak dalam tempurung. Para siswa terkungkung dalam kebijakan sekolah yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Bahwa selama tiga tahun belajar di sekolah para siswa menerima pelajaran sampai penilaian hasil belajar hanya berasal dari gurunya saja. Ketika para siswa tersebut mengikuti UN, tentu akan sangat banyak dari mereka yang terkejut karena sangat berbedanya antara soal yang biasa dibuat oleh gurunya dengan soal dalam UN.

Pengalaman siswa terhadap dunia luar sekolahnya pada umumnya terjadi pada semester akhir mendekati UN dalam bentuk ujicoba atau try out UN. Ada sekolah yang merencanakan kegiatan ujicoba UN selama satu semester akhir tersebut sebanyak 5 (lima) kali, tetapi ternyata yang terlaksana hanya paling banyak 3 (tiga) kali saja. Penyebabnya (1) ujicoba tidak dirancang sejak awal tahun pelajaran, terutama yang berhubungan dengan perangkatnya; (2) dana yang dimiliki oleh sekolah sangat terbatas; dan (3) waktu untuk melaksanakan ujicoba pada semester akhir tidak memungkinkan, karena biasanya para guru setelah ujicoba akan membahas soal yang diujicobakan bersama para siswanya.

Tidak ada komentar: